Jumat, 26 Oktober 2012


ujian waktu

 bila hari ini kita bersama
 itu karena aku ingin kita dekat
 bila besok jarak tinggal di antara kita
 ku yakin waktu akan berpihak

 bukan hanya raga
 sukma pun milikmu
 bukan hanya kata
 benak pun tertawan pesonamu

 hanya, sabarlah jelitaku
 biar tempo uji setia
 walau samudra membentang di antara
 jiwa erat saling rengku

 Tataaran, 24/10/12
 [Sebuah syair untuk Chintaku]


Kase Qta

 [Oleh Iswan Sual]

 kase qta captikus kalu ngoni nda becus
 nda pantas ngoni jadi politikus
 ngoni ijang tu demokrasi
 depe bobo sama deng terasi

 mar ba aksi iko strat
 tutu kaca stel nda kanal
 padahal waktu pilkada
 badiri di mimbar caricari muka

 kase qta ingus kalu musti pake fulus
 nda cocok ngoni pe gelar doktorandus
 bagra sadiki gunting putus
 for cari tu'us

 kase qta nasi tu'tus
 kalu di hati nyanda ada tulus
 biar jo kita kurus
 yang penting jao tu nama busu

 Tataaran, 27/10/2012


Minggu, 15 April 2012

Cerpen Iswan Sual

Teruna Abadi

Oleh Iswan Sual, S.S

Di kampung kami ada hidup seorang teruna yang sudah agak tua. Yosi namanya. Dia selalu terlihat di pagi dan siang hari setiap kali kami hendak berangkat ke dan pulang dari sekolah. Pakaiannya sungguh membuat aku prihatin. Berjalan dengan celana pendek dan kaos oblong yang dekil karena arang tak jadi soal bagi si teruna ini.  Siswa-siswi yang berpapasan dengannya terkadang melemparkan tawa-tawa mengejek, namun tak pernah dia marah atau tersinggung. Hal-hal itu begitu enteng diterimanya. 
Dia hidup normal dalam rumah sederhananya. Ada tinggal di situ dia, mamanya, dan dua adiknya perempuan yang sudah berkeluarga. Dua adik iparnya minta ampun malasnya. Mereka paling hebat kalau membuat anak. Jadinya, semua tanggungan ada di pundak Yosi.
Sedikit pun dia tak mengeluh. Dia terus saja bekerja tanpa berharap ada orang yang akan membantu. Sungguh tak berperasaan dua saudara iparnya itu. Mamanya yang sudah buta tak pernah menyadari kelakuan jahat dua anak menantunya yang tiap hari kerja mereka hanya nonton dan tidur. Sungguh tak tahu malu!  
Pekerjaan Yosi adalah pekerjaan mayoritas pria di kampung kami. Dia seorang pembuat gula aren. Mereka terus saja membuat gula aren walau harganya naik turun seperti yoyo berkat permain pengusaha-pengusaha kecil di kampung kami.
Dia bekerja mulai subuh hingga malam. Dia terlihat siang di kampung untuk makan siang sekaligus melihat ibunya yang kadang-kadang ditelantarkan oleh orang-orang serumah. Untung, letak tampa gula-nya tak jauh dari rumah.
Orang-orang bisa bertandang ke tampa gula kapan saja. Dia tak merasa rugi bila berkali-kali orang datang meneguk beberapa tempurung saguer dari kuali. Tempat dimana dia bekerja telah banyak kali dijadikan sasaran penelitian mahasiswa. Sampai-sampai pernah ada seorang anak gadis kuliahan tertarik dan jatuh cinta padanya oleh karena terkesima dengan profesianalisme Yosi ketika memaparkan secara ilmiah proses pembuatan gula aren. Walaupun tidak sekolah, karena bertahun-tahun menggelutinya, serasa enteng dia memberi presentasi. Padahal, belum tentu seorang mahasiswa dapat melakukannya. Ya begitulah, banyak mahasiswa yang menjelang sarjana tak tahu menahu soal presentasi ilmiah.
Sayang, kata-kata gadis kuliahan itu dianggapnya lelucon. Waktu si gadis menegaskan keseriusannya, Yosi dengan terus terang menampiknya.  Bukan karena dia setia pada seorang gadis lain. Tapi karena sesuatu yang tak jelas. Aneh. Pria yang tak tampan ini menyia-nyiakan lamaran seorang gadis istana. Padahal banyak pemuda lainnya sekolah tinggi dan berobsesi jadi kaya raya demi mendapatkan seorang gadis cantik barang satu saja.
Ganjil. Barangkali Yosi telah hilang kewarasannya. Si Yuli, pacarnya, kini telah menjadi perawan tua gara-gara sikap Yosi yang tak jelas itu. Dia masih menunggu walau tak pernah diminta Yosi untuk menungguinya.
Yosi masih ke rumah gadis itu namun tak pernah dia berjanji mengantarnya ke pelaminan. Gadis itu hanya berharap. Terus berharap entah sampai kapan. Tabuh bagi dia bertanya mengenai ikhwal itu pada Yosi.
“Yos, umurmu kini telah empat puluh. Kenapa juga tak kau nikahi si Yuli itu? Masihkah kau menanti yang lain? Jangan pilih-pilih Yos. Pili-pili ahirnya dapa langsa busu,” kata Rivon karena kasihan melihat Yosi yang tiap hari bekerja bagai budak. Mungkin Rivon juga ikut menjadi saksi keganasan keadaan yang dialami Yosi. Memang, hak ikhwal Yosi tak lagi menjadi rahasia.
“Untuk apa menikah? Aku sudah bisa memasak, meyuci dan mengerjakan semua yang bisa dilakukan seorang istri?” jawab Yosi dengan sedikit berkelakar. Disertai tanya.
“Ah Yosi, tidakkah kau ingin merasakan nikmatnya tidur bersama seorang wanita. Tak maukah kau dilayani seorang istri? Tak sudikah kau beroleh keturunan? Penerus. Penerus margamu Yos,” tambah Rivon.
Rivon berusaha menyadarkan Yosi tentang pentingnya berkeluarga. Hidup bahagia di hari tua dengan didampingi anak istri dan cucu.  Terus saja dia mengiming-imingi Yosi tentang sesuatu yang sebenarnya tak diyakininya betul.
“Maukah kau korban kebahagiaan kau hanya demi kesedapan di atas ranjang nun singkat itu Von? Kau lihat hidup si Jerry, saban hari bertengkar dengan istrinya gara-gara setiap pulang dari sawah istrinya asik nonton dan karlota dengan teman-temannya. Kau lihat si Eli. Anaknya pas kesebelasan sepak bola jumlahnya. Semua menumpang di rumah menantunya. Kau lihat si Oni, dia ditinggal oleh istrinya setelah bosan dengan kesedapan ranjang hanya dengan satu  lelaki. Tak usahlah kau pikir hidup aku, kawan. Aku bahagia dengan nasibku. Aku telah memilih untuk sendiri bukan karena aku tak mau menikmati tubuh perempuan. Aku memilih begini karena aku tak ingin mewariskan penderitaan pada anak-anakku. Cukuplah aku yang merasakannya. Aku tak mau anak-anak dan cucuku mengutuki aku karena telah menyebabkan mereka lahir ke dunia ,” Rivon terpaku. Dia tertunduk malu.
Selama ini dia mengganggap Yosi adalah orang yang bodoh yang tak memahami hidup. Selama ini dia berpikir bahwa Yosi telah sesat pikir dan sesat tindak. Rivon malu tersipu telah menuduhkan hal-hal yang tak baik pada Yosi.
“Rivon, kenapa kamu ingin menikah? Apa karena kamu yakin kamu bisa membahagiakan anak istrimu? Apa kamu yakin sanggup mendidik anak-anakmu menjadi anak-anak yang berperilaku patut dan tak akan menjadi musuh negara kita?” Rivon masih tertunduk. Tak berani dia mendongak. “Von, kalau kau tak yakin bisa dengan semua itu, bukankah sebaiknya kau mencegah satu langkah agar tak ada langkah-langkah lain yang nanti membawa kau ke jurang sengsara abadi? Hidup itu singkat, kawan. Jangan kau hanya berpikir bagaimana memuaskan keinginanmu semata. Bahagiakan orang lain. Atau paling tidak, cegahlah ketidakbahagiaan itu.”
Rivon tak berani mendongak hingga kini. Yosipun melanjutkan pekerjaan. Sudah waktunya mengambil sareng-sareng yang bergelantungan di atas pohon aren. Lalu, dia masih harus mencari kayu bakar. Tambah lagi dia harus merebus saguer. Rivon pulang tanpa pamit. Sempat dilihat Yosi pria yang sok tahu itu pulang tanpa pamit. Tanpa basa basi. Pulang tetap tertunduk. Dalam hati terus menyalahkan diri sendiri karena telah berprasangkah sangat tak adil kepada Yosi. Teringat oleh Rivon sebaris kalimat goresan Pramoedya Ananta Toer, “Seorang cendekiawan harus bertindak adil sejak dari pikiran.”
23/02/2012




Cerpen Iswan Sual


Kekuasaan Gereja
Oleh Iswan Sual, S.S

Pimpinan dan jemaat gereja di Jakarta berunjuk rasa di depan kantor agama dan gubernur serta di DPR DKI Jakarta kemarin. Mereka meminta perlindungan pemerintah. Menjamin hak-hak mereka untuk beribadah. Pada hari jumat hingga hari minggu beberapa gereja diserang massa yang terang-terang sudah dikenal. Organisasi itu sudah akan akan merayakan dies natalis organisasinya ke 12 tahun ini. Sudah banyak tempat ibadah yang mereka porak-porandakan. Tak hanya gereja yang diserang. Mesjid juga. Jemaah Muhammadiah juga dibunuhi oleh mereka. Pemerintah tak berbuat hal nyata untuk menjamin hak-hak warganya untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Paling banter hanya memberikan pernyataan “mengutuk” tak terkesan membiarkan. Padahal organisasi itu sudah jelas-jelas meresahkan dan justru pernah mengeluarkan ancaman untuk menurunkan presiden dari tampuk kekuasaannya.  Sebegitukah pengecutnya pemerintah kita sehingga mereka terus memelihara ular dalam rumahnya. Yang terancam tak diperdulikan.
Di Koran juga kubaca pimpinan-pimpinan agama di daerah kami mempublikasikan pernyataan mereka. Semuanya bernada sama: mengutuk tindakan penyerangan terhadap gereja itu. Mereka juga menghendaki agar pemerintah memberikan balasan setimpal kepada para pelakunya. Padahal orang-orang yang diserang itu tak berniat sedikit mengutuki dan membalas mereka. Mereka hanya meminta pemerintah agar mereka diberikan kenyamanan dan ketentraman sebagai warga negara. Para pemimpin agama di daerahku bahkan berlebihan dengan penunjukkan rasa simpati mereka. Rasa simpati yang sebenarnya dibungkus oleh keinginan untuk tampil sebagai pahlawan. Berharap agar masyarakat bahkan dunia melihat bahwa mereka peduli dan menginginkan agar kemajemukan harus senantiasa dijaga. Mereka meneriakkan penjaminan hak-hak setiap orang beribadah dan berkeyakinan. Mereka menyumpahi para Islam garis keras yang memboikot rumah-rumah ibadah yang hendak dibangun. Tanpa tahu duduk persoalannya.
***
Seperti biasa, setiap hari minggu saya ke gereja. Demikian juga hari ini. Batin saya yang sumpek di enam hari boleh terasa sejuk setiap kali saya melangkahkan kaki rumah Tuhan. Alunan musik yang ciptakan pada abad 13 dimainkan begitu sempurna. Seketika itu kurasakan suasana surga melingkupiku. Senyum dan tawa mengembang pada semua orang berdatangan. Kami saling berjabat tangan. Begitu sejuk suasana terasa.
“Pertolongan kepada kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi, yang tetap setia untuk selama-lamanya dan tidak meninggalkan perbuatan tangaNya. Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai saudara-saudara,” ucapan khadim di atas mimbar menambah kesejukkan dalam batinku. Bagaikan titik embun pagi hari. Seumpama pohon-pohon perteduhan di saat mentari menyengat sepanjang hari.
“Amin,” balas kami.
Bila suasana ini mampu membuat batinku tenang aku rela tinggal lama dalam gedung ini. Akan kujual seluruh hartaku untuk para pendeta dan pelayan Tuhan. Akan kubaktikan hidup ini untuk gereja. “Saudara-saudara sekalian, mari kita persiapan hati kita untuk mendengarkan suara Tuhan…” ini yang paling kutunggu. Disinilah pesan-pesan indah tentang kedamaian diungkapkan. Di waktu inilah Tuhan menjelma membagikan percikan-percikan keadaan surgawi. Seperti mana surgawi dilimpahkan kepada bangsa Israel kita mereka ditempah di  gurun dalam perjalanan ke tanah Kanaan.
“Kita sebagai cepat harus saling memperhatikan. Saling mengunjungi di saat sakit, saling mengingatkan bila ada yang mulai menyimpang dari jalan Tuhan. Didiklah anak-anak kita agar menjadi taat pada agama dan gereja. Didiklah mereka agar selalu dekat dengan Tuhan…Mari taburkan damai ke sekeliling kita……tapi kita juga seharusnya waspada. Jangan, besok-besok anak-anak kita dulu bernama Maria lalu menjadi Siti Mariam, Yohanes menjadi Ibrahim, Sarah menjadi Siti Hajar, Ishak menjadi Ismail, Imanuel lalu berubah menjadi Muhammad. Jangan! Jangan saudara sekalian. Jangan berikan kesempatan. Awalnya mereka datang dengan senyum, ada  yang pura-pura jual bakso, mie ayam, jamu, sayur, tahu. Kemudian lama kelamaan mereka akan membeli rumah di kampung kita. Mereka akan tinggal. Seiring waktu mereka mengundang keluarga mereka dari Jawa sehingga mereka dapat mendirikan mesjid.”
Aku terhenyak dengan khotbah pendeta. Awalya dia berbicara tentang kedamaian. Selanjutnya dia menaruh rasa curiga pada jemaat agar mewaspadai orang yang datang. Dia juga menyebutkan cara-cara penyebaran agama Islam yang bakal terjadi di kampung kami. Bukankah begitu juga cara Riedel dan swharz sewaktu mereka membawa agama Kristen ke tanah Minahasa?
Dia menyebutkan deretan nama seperti Siti Mariam, Ibrahim, Siti Hajar, Ismail dan Muhammad seolah-olah mereka adalah sosok yang menebarkan permusuhan ke dunia. Seolah-olah mereka adalah orang jahat yang juga dibenci oleh Tuhan. Siti Mariam, bukankah dia itu nama dari ibu Isa (Yesus) dalam bahasa Arab? Ibrahim apalagi. Bukankah itu nama Arab dari bapa semua orang beriman, Abraham. Hajar dan Ismail bukankah Allah memberkati mereka juga. Muhammad, bukankah dia mengajarkan kepada pengikutnya agar tak memusuhi orang Kristen? Bukankah dia sangat menghormati orang Kristen karena pamannya (beragama Kristen) juga yang menikahkan dia dengan istrinya?
Kenapa tega-teganya pemuka agama mengajarkan umatnya untuk membenci umat lain. Para pemuka menampakkan kerukunan dalam lembaga tetapi ketika mereka pulang ke asal mereka masing-masing, mereka menebarkan benih permusuhan. Pantas saja kita terus berkelahi.
Saat ibadah selesai aku pulang tanpa menyalami sang pengkhotbah. Senyumku hilang seiring benih-benih perpecahan ditabur di dalam gereja.
***
“Selamat sore,” terdengar suara dan ketukan pada pintu. Dari balik jendela aku melihat tiga sampai lima orang. Aku kenal mereka. Setiap hari minggu aku selalu melihat mereka, dengan stola putih berbordir ∆ dan Ω, duduk wibawa rohani yang ternyata dibuat-buat. Kulihat sang pengkhotbah juga berdiri di depan pintu.
“Selamat sore,” sahutku setelah membuka pintu, “Ada ya?”
“Begini, kamu hendak bertemu dengan bapak.”
“Bapak? Oh ada. Dia di belakang sedang memberi makan bebek dan ayam. Aku panggil ya…”
“Kami datang untuk bertemu anda,” kata bapa yang sudah beruban, memotong pembicaraanku.
“Maksud bapak, mau ketemu saya? Oh silahkan duduk.”
Lima orang ini tampak enggan untuk berbicara. Senyuman mereka terkesan hanya dibuat-buat. Tak berapa lama ayah dan ibu muncul dan langsung menyalami pendeta dan rekan-rekannya. Ayah dan tampak respek sekali pada pendeta. Bahkan kelihatan malu bercampur takut. Seperti Adam dan Hawa yang malu setelah ketahuan oleh Tuhan karena telah menelan “buah pengetahuan buruk dan baik” yang disuguhkan oleh si ular.
Setelah didahului doa yang panjang, sang pendeta mulai bertutur:             
“Kedatangan kami kesini untuk melihat jangan-jangan saudara sedang sakit. Soalnya sudah dua bulan tidak pernah kami lihat di gereja. Biasanya bapak yang paling rajin.”
Oh ternyata ini toh maksud kedatangan mereka. Bukan yang sakit. Sebenarnya merekalah yang sakit. Mereka seharusnya mengunjungi dan mengembalakan jiwa mereka yang digerogoti oleh rupa-rupa penyakit, terutama penyakit curiga dan antikris. Kalau mereka tidak menjalankan anjuran dan ajaran Kristus, tak keliru kalau aku menyegel mereka sebagai antikris.
“Memang sudah lama saya mau bicara dengan bapak dan ibu sekalian. Sudah lama saya aktif dalam gereja. Sudah lama juga saya mempelajari gereja dan agama. Dan inilah saatnya saya mau bicara, kebutulan bapak dan ibu sekalian adalah wakil gereja. Sebetulnya saya telah memutuskan membacakan surat pernyataan saya di gereja, namun mungkin itu tak akan baik akibat yang akan ditimbulkannya. Tapi, mumpung bapak dan ibu sekalian sudah datang, saya akan mengatakannya sekarang.”
Terlukis keheranan pada raut wajah setiap orang yang datang itu. Namun, aku tak tahu pasti bilakah mereka sudah mengerti isi hatiku. Ku lihat pendeta menelan ludah. Seorang wanita memperbaiki duduknya. Seorang bapak mengatupkan mulut dengan kencang. Yang lainnya menata lantai.
“Katakan saja pak. Kami siap menerima keluhan dari jemaat. Sudah tugas kami sebagai penatua dan syamas, pelayanan khusus, untuk mendengar suara jemaatnya. Itulah yang diajarkan Kristus,” kata pendeta memecah keheningan.
“Saya sudah memutuskan untuk tidak akan bergereja lagi,” mendadak semua kepala pendengar terangkat, mencari kepastian yang barusan mereka dengar, “Saya bahkan sudah tak ingin beragama lagi. Buat saya agama hanyalah jembatan untuk dekat dengan sang pencipta. Gereja sekarang kini adalah jembatan yang rapuh. Dan, menurutku, agama bukanlah satu-satunya jembatan untuk dekat dengan Tuhan. Sudah puluhan tahun saya bergereja. Sudah puluhan saya mempelajari sejarah gereja. Yang kutemukan hanya kegagalan gereja. Kalaupun ada keberhasilanya, hal itu pun bisa dilakukan tanpa harus bergereja. Lagipula, Yesus datang kedunia tidak membawa agama. Dia membawa damai. Bukan menganjurkan membentuk organisasi besar dunia yang berkuasa dan mengatur untuk kepengatan golongan penguasa. Pimpinan gereja mengira bahwa mendirikan organisasi gereja yang besar sama dengan membangun kerajaan Allah. Pemuka agama kita telah salah memaknai kerajaan Allah yang Yesus pernah ucapkan. Gereja bukanlah kekuasaan, melainkan pelayanan. Pelayanan adalah pelayanan. Bukan kekuasaan. Karena kekuasaan adalah kekuasaan.”


- dan Ω berarti alfa dan omega. Simbol itu melambangkan Yesus Kristus sang pembawa damai.
- Penulis adalah guru bahasa Inggris di SMP Kristen Tondei. Juga sebagai dosen di Universitas Kristen Indonesia di Sulawesi Utara.

Cerpen

PEMUDA MALAS
Oleh Iswan Sual

Seorang pemuda diminta oleh seorang ibu untuk memanjat pohon rambutan dan memetiknya karena mereka ingin sekali menikmati buah rambutan yang kulitnya tampak merah dan menarik hati itu.
“Ah buah itu asam,” kata pemuda itu sambil berlalu meninggal para ibu yang ingin sekali makan buah rambutan.
Melihat penolakkan halus itu ibu geram. Merekapun berembuk dan akhirnya memberanikan diri untuk memetik buah-buah itu sendiri. Dengan susah payah dua orang perempuan bergelayutan di atas pohon meraih setiap buah yang agak jauh dari batang.
Setelah selesai mendapatkan sesosiru, mulailah mereka menikmati beramai-ramai. Terdapat anak-anak juga. Muncullah pemuda tadi dengan tiba-tiba. Tanpa ditawari dia mulai memakan buahnya satu per satu dengan rakusnya. Para perempuan yang masih di atas pohon kaget dengan kejadian itu.
“Hey…sialan kamu! Tadi kamu bilang asam. Sekarang kami makan laiknya binatang kelaparan,” teriak perempuan yang berbadan gempal.
Si pemuda malas itu cuek. Dia tak menghentikan walaupun ditegur. Perempuan itu pun berteriak lagi dengan kasar penuh makian. Si pemalas akhirnya bereaksi.
“Ok…tinggal sepuluh yang akan aku makan. Satu…,” katanya sambil menghitung dan terus makan, “ dua……..…tiga…..….empat……….”
Perempuan gempal yang masih di atas pohon itu naik darah kemudian turun mengejar si pemuda malas dengan beringasnya.

Cerpen Iswan Sual


BALAS DENDAM
Oleh Iswan Sual

Dengan keseriusan yang mendalam, ditemani secangkir teh dan kue cucur, aku membaca berita-berita dari sebuah harian lokal. Harian yang kentara dengan dua hal saja: kriminal dan seks. Gambar orang yang mengenaskan dan memanaskan mendominasi lembar demi lembarnya. Menurutku berita-berita yang disuguhkan di situ bukanlah berita. Prosentase terbesarnya adalah kejadian yang dilebih-lebihkan. Antara fiksi dan nonfiksi perbandingannya adalah 80 % dan 20%. Walaupun tahu kebohongan itu, terus saja aku membaca. Siapa tahu, tulisan-tulisan itu dapat dijadikan inspirasi untuk karya-karyaku nanti. 
Di petang itu, matahari seakan menunda tenggelamnya karena ikut terlena bersamaku. Tiba-tiba telepon genggamku berderit-derit. Begitu kutekan tombol tanda terimanya, terdengar suara lembut seorang gadis di ujung telepon. Tak pernah terpikirkan olehku si penelepon itu akan melakukan itu setelah apa yang pernah aku lakukakan padanya.
“Halo kak!”
“Halo, sapa ini?” kataku dengan  kernyitan pada dahi.
“Eh, pe sombong! Masa so lupa.”
Ku coba menerka-nerka dalam kepala. Memang suara itu tidak asing di pendengaranku. Hanya saja akhir-akhir ini tak lagi pernah ku dengar. Suaranya yang mendayu-dayu mengorek masa laluku, empat atau lima tahun yang lalu. “Ah pasti dia! Takkan keliru. Itu pasti Hartina,” aku memastikan.
“Eh tumben telepon. Tau dari mana kita pe nomor?”
“Memangnya so tau sapa kita?”
“Haaartina to? Dari mana ngana tau  kita pe nomor?”
“Ih kakak, kalu nda suka orang tahu tu nomor, jang taru di feisbuk dang,” katanya sinis. Aku jadi malu sendiri.
“Oh io kang. Kyapa ngana telpon pa kita?”
Kyapa ngana telpon. Kutanyakan sekali lagi pertanyaan itu. Aku heran dia mau mencari kabarku. Padahal aku sama sekali tak peduli padanya. Perasaanku campur aduk. Kami terus saja ngobrol. Tak sedikitpun disinggungnya soal masa lalu kami yang sangat menyakitkan bagi dia. Anehnya, dia malah melarangku membicarakan itu. Sebenarya aku mencoba mengingatkannya supaya aku mendapat kesempatan untuk memohon maaf. Dia malah menimpali, “Tak ada yang perlu dimaafkan, kak. Yang sudah terjadi, terjadilah. Lagipula, kita tidak dapat merubah sesuatu menjadi lebih baik dengan terusan saja menyesalinya.” Begitu menusuk kata-kata itu. Aku jengah. Malu. Malu pada seorang yang terus memanggilku kakak. Begitu hormatnya dia padaku meskipun aku telah merenggut kesucianya dan meninggalkannya.
“Kak, torang baku dapa kwa,” katanya bak sengatan kelabang yang tiba-tiba.
“For apa? Ngana mo lebe kecewa mo lia kita pe keadaan sekarang. Kita so nda gaga. Kita bukang lagi orang yang pantas ngana mo beking idola.”
“Hahaha…kakak…kakak. Masih saja seperti dulu. Walaupun kakak dulu playboy, tapi tetap saja rendah hati. Kak, kita serius. Torang baku dapa ne?”
“Ngana dimana?”
“Kita di Jakarta. Mar besok kita pulang. Plis…ada yang penting torang dua mo bacirita…hehehe. Besok…bole to? Plis…plis…”
Keramahannya tidak membuatku senang. Malah semakin membuatku merasa bersalah dan penasaran. Terbesit dalam benak akan ada pembalasan dalam pertemuan yang dia rencanakan itu.
“Nanti bacirita ulang jo. Kita nda bisa pastikan kalu torang bisa bakudapa.”
“Kak, tenang jo kwa. Kita nda mo bajahat. Tolong ne, datang.”
Telepon ditutup. Pertanyaan demi pertanyaan muncul bergantian. Kebanyakkan tak bisa kujawab. Ada apakah gerangan? Kenapa dengan tiba-tiba dia menghubungiku untuk bertemu? Aneh bin ajaib. Dulu, setelah madunya aku hisap semua, dia kutinggalkan begitu saja. Tak sedikitpun kuanggap dia berharga dalam hidupku waktu itu. Kini, dia datang dengan senyuman manis. Sungguh tak masuk di akal. Pembalasan lebih kejam daripada perbuatan. Biasanya itu yang berlaku. Tapi, kenapa ini rupanya berbeda? Tapi apa boleh buat, aku harus menemuinya. Aku harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanku. Inilah kesempatanku untuk memperbaiki semua kerusakan yang telah aku lakukan padanya. Apa yang akan terjadi, terjadilah.
***
Bayangan tentang rupa dia, ternyata tak salah sedikitpun. Dia sudah berubah. Penampilannya sangat jauh berbeda denganku. Dia terlihat sejahtera. Pakaiannya dibuatnya sederhana, namun tetap saja bergelimang mewah dari kaki hingga kepala. Sedangkan aku, apa yang terbaik dari lemari pakaian, itu yang kukenakan. Tapi, tetap saja kelihatan seperti seorang gembel. Antara aku dan dia serupa bumi dan langit perbandingannya.
“Ayo,” katanya lembut sambil menyentuh pundakku. Kami masuk semua cafĂ© remang-remang. Solaria dulu tempat aku dan teman-teman mengadakan pertemuan. Disini kami banyak berdiskusi mengenai teori-teori yang tak berguna sama sekali ketika kami terjun ke dunia nyata. Di sini juga kami menyusun rencana awal untuk demonstrasi sebagai bentuk pendampingan kepada masyarakat kota Manado yang menjadi korban penggusuran brutal oleh Polisi Pamong Praja. Banyak masyarakat yang dibohongi dan bahkan dipentungi karena tetap bertahan. Mereka bertahan untuk mengais nafkah hidup. Pemerintah malah lebih mengutamakan pengusaha besar yang berduit banyak daripada pengusaha kelas ikang puti yang cari sehari makan sehari.
“Torang mo bicara apa, Hartina?” kataku mendesak.
“Pesan dulu kwa. Pesan jo apa yang kak suka. Makanan, minuman apa jo. Kita traktir hehehe,” celotehnya enteng.
Aku diam dalam kebingungan. Kupikir keramahannya hanya akan berlaku sewaktu di telepon. Sangkaanku keliru. Hingga di tempat ini pun dia terus bersikap ramah dan superbaik padaku. Aku jadi seperti orang dungu di depannya. Barangkali ini adalah kutukan dari Tuhan atasku karena aku banyak bualannya ketika masih sama-sama dengan dia dulu.
“Aku pesan ini saja,” kataku sambil mengeserkan buku menu ke arah Hartina.
“Hi, kyapa cuma capoccino? Emang, kak nda lapar. Jao-jao kamari dari kampung cuma mo minum. Kakak musti makan, kita tulis jo tre. Kakak ini bagimana,” cepat-cepat dia menulis beberapa item nama makanan dan minuman atas namaku.
“Hartina…!”
Langkah kaki Hartina tak sanggup kucegah. Dia telah pergi ke meja kasir untuk mengonfirmasi pesanannya. Dia kembali dengan wajah berseri. Seperti saat kami bertemu di lobi tadi. Dia berusaha menghiburku dengan kata-katanya. Semakin dia melakukan itu, aku kian merasa akan ada hal luar biasa mengagetkan yang akan aku dengar dan lihat sebentar lagi. Kupikir, dia sedang menunda semua sumpah serapah dan segala tetekbengek yang sesungguhya yang harus dia lakukan. “Aku siap. Lakukan saja Hartina. Aku siap menanggung semuanya. Seberat dan seburuk apapun,” gumamku.
“Kak, ayo makan. Tenang, semua ini kita yang bayar. Kakak nda usah repot. Habiskan…hahaha.”
Guyonannya kubalas dengan senyum tipis. Tapi dia kelihatan tenang-tenang saja. Dia bebas dari beban. Santai. Dia pun makan dengan lahap. Padahal, dia tidak sebegitu pelahap sewaktu kami masih sama-sama dulu. Separuh dari nasi di piringnya, selalu saja dia berikan padaku. Dia malah beberapa kali tak makan dengan alasan diet. Itu hal aneh yang pernah kutemui. Sudah ramping dan langsing tapi mengekang mulut untuk makan. Dulu, itu aku tak pedulikan. Tak menjadi persoalan penting bagiku.
Sekarang Hartina memiliki hidup yang disiplin. Badannya yang terurus dan pakaiannya yang rapih menunjukkan bukti-bukti itu. Maklumlah, dia bekerja di perusahaan penerbangan terbaik Indonesia. Sedangkan aku hanyalah seorang pemanjat kelapa yang sewaktu-waktu jatuh dari udara tanpa jaminan asuransi perusahaan. Padahal, orang-orang seperti kamilah yang menyongkong bahan pangan orang-orang kota.
Namun, aku sedikit bahagia. Dia tentu tak akan pernah mewujudkan cita-citanya menjadi pramugari bila aku serius mencintainya lalu kammi sampai ke jenjang pernikahan. Pasti dia akan turut dalam kemelaratan bersamaku.
“Kak, kita jalan yuk,” kata Hartina sambil mengambil tasnya yang berwarna pink bercampur putih susu.
Ponselnya yang berukuran besar juga punya warna serupa dengan tas. Kini dia berdiri tepat di sampingku sambil menyentuh pundak sekali lagi. Tubuhnya kian berbentuk. Lebih elok daripada tubuh yang pernah aku peluk dulu. Kusadari dia memiliki lebih banyak keunggulan fisik dari Happy Salma. Keinginan berahiku mencuat namun terlampau kuat kukekang. “Jangan pernah berharap lagi gembel!” kataku dalam diam.
“Mo kamana torang?”
“Ke tempat dimana kakak akan dijagal. Di situlah aku akan membalaskan dendamku…hahaha… Aku bercanda. Ikut saja kak. Kita akan mencari tempat yang lebih aman untuk bicara. Kakak tidak keberatan kan?”
***
Aku tak pernah menyangka kalau kini Hartina telah benar-benar berubah dalam banyak hal. Bukan hanya dalam penampilan fisik dan kelakuan. Tak pernah terpikir kalau aku baru saja naik dan turun dari mobil sedan berwarna putih miliknya. Aku juga tak pernah membayangkan kalau dia akan membawaku ke rumahnya yang mewah di perumahan Real Estate Citra Land. Tak pernah lewat dalam benakku dia akan membiarkan seorang gembel nun jahat sepertiku mencicipi kemewahan yang dia peroleh dengan keringatnya sendiri. Apakah ini adalah bentuk balas dendam yang dia maksudkan? Apakah ini semua menjelaskan padaku bahwa seorang korban seperti dia telah diangkat oleh Tuhan dan telah diberikan kehidupan yang lebih baik daripada orang yang telah merusak kehidupannya di masa silam? Kalau itu tujuannya, aku sudah menderita jauh sebelum dia menelponku kemarin. Bahkan hari itu saja, hari dimana aku mencampakkanya, siksa dari balasan itu sudah kurasakan. Tapi rupanya ini adalah puncak dari semua itu. Aku siap Tuhan. Balaskan dendamnya setimpal dengan semua kebejatanku.
“Kak, apa kakak sudah memiliki seorang istri?”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu Hartina? Terus terang, setelah apa yang pernah aku lakukan padamu, aku tak lagi punya keberanian untuk berangan memiliki seorang istri. Aku rasa, aku tak pantas dianugerahi seorang wanita. Dosaku terlalu banyak pada perempuan.”
Hartina meraih tanganku. Air mata mengalir deras dari matanya. Semakin erat dia meremas tanganku. Dia tertunduk sesenggukan. Aku tak mengerti. Sangat runyam untuk kupahami.
“Kak, kita nda perna baharap cinta lagi dari kakak. Samua yang perna kak kase so cukup mo se sadar pa kita kalu kita ini cantik. Samua yang perna kakak kase, walaupun itu stenga pura-pura, so cukup beking kita rasa apa depe arti menjadi seorang gadis yang dicintai. Kita blajar, kalu kita lei sayang pa kakak, berarti kita musti kase kebebasan pa kakak for mo dapa apa yang kakak rasa bagus. Kita memang manangis, waktu kakak kase tinggal dulu. Mar kita nda perna binci pa kak. Kita kase biar kakak pigi mo cari kakak pe cinta sejati supaya kakak bahagia. Tantu, kita senang kalu kakak bahagia. Kebahagiaan kakak adalah kita pe kebahagiaan juga.”
            Aku menunduk malu. Tak pantas aku mendongak dan menghapus air matanya yang terlalu suci untuk kujamah. Dia sempurna. Dia adalah malaikat. Bagaimana bisa aku tak mengenalnya sedari awal? Aku telah menyia-nyiakan sebuah cinta sejati.
***
Setahun kemudian aku menikah dengan seorang gadis di kampungku. Dia tidak memiliki pendidikan tinggi namun ada padanya kepribadian yang serupa dengan Hartina. Namanya Hermita. Gadis yang berkulit agak gelap. Tubuhnya semampai. Cantiknya tiada bandingan. Kusuma desa. Ya, bunga desa.
Pertemuan aku dan Hermita pun mirip pertemuanku dengan Hartina. Sekarang aku dan Hermita tinggal di perumahan Citra Land. Semua harta dan kepunyaan Hartina dia wariskan padaku pada saat kami bertemu tahun lalu. Dia memberikan semua surat-surat tanah, rumah, serta kendaraan yang tertulis atas namaku. Juga dua café yang terletak di kawasan Mega Mas. Rupanya dia bekerja bertahun-tahun demi aku yang telah menyia-nyiakannya. Sulit untuk memahami pikiran dan perasaannya padaku. Namun yang pasti, dia mencintaiku dengan segenap jiwa dan raga.
Setiap minggu aku mengunjungi kuburannya. Dia meninggal dalam kecelakaan pesawat di atas wilayah Makassar sehari sesudah pertemuan kami. Dia telah tahu dengan pasti kapan malaikat maut akan menjemputnya. Air mataku tak terbendung setiap kali aku meziarahi makamnya. Pada batu nisannya tertulis:


Regular Pentagon: Pusara Dari
Hartina Mertosono binti Sukiman
Umur: 25 tahun
“Kebahagiaanku adalah ketika melihat kekasihku mendapatkan cinta sejatinya. Sekalipun, bukan aku wanita yang beruntung itu.”



Cerpen Iswan Sual


Desi, Aku Sungguh Menyesal
Oleh Iswan Sual

Hingga kini aku masih merasa bersalah. Rasa bersalah ini muncul ketika aku sedang banyak masalah. Inilah mungkin yang disebut hukum karma. Yang dulu itu tak ku percaya. Aku tak pernah percaya dengan hukum tabur tuai yang pernah disabdakan oleh seorang bujang yang terus melajang hingga digantung  hingga mati oleh saudara-saudaranya sendiri- orang Yahudi.
Aku masih teringat gadis yang bernama Desi. Gadis yang begitu lugu. Malu-malu. Sedikit misterius namun ternyata bercita-cita mencintaiku dengan serius. Aku yang tahu dengan perasaannya tak sedikit pun peduli. Tapi tak sedikit pun aku menampakkan ketidaksukaanku padanya. Aku senang gadis-gadis tergila-gila padaku. Kubiarkan mereka mengejar. Aku membuat segalanya menggantung. Hingga suatu saat aku sendiri yang kena batunya.

***
Di tahun 2008 aku mendapat beasiswa 3 bulan untuk belajar kebudayaan dan teknologi serta hal-hal lain di Australia. Sebelum berangkat aku sempat bertemu dengan seorang gadis berdarah China bernama Meisyi. Semula aku membuatnya menggantung. Lama-lama aku yang menggantung. Barangkali, karena aku tak bisa menampik rayuan kulit putih dan tubuhnya yang seksi. Suaranya yang mengundang itu sulit kulupakan. Akhirnya kunekatkan diri. Aku mengajaknya bertemu beberapa jam sebelum aku berangkat ke Australia. Awalnya, aku bermaksud menyampaikan isi hatiku setelah aku pulang dari negeri kangguru itu. Tapi Meisyi tak bisa tersiksa oleh karena penasaran. Dia merengek-rengek supaya aku merubah keputusan sepihak yang telah aku ambil.
“Jangan begitulah, Kamang. Jangan buat aku tersiksa menunggu sesuatu yang tak jelas.”
Melalui telpon dia terus membujukku. Dia memberi tanda bahwa dia sebenarnya sudah tahu. Namun, dia tak ingin aku menahan perasaan. Seolah dia pun siap mengiyakan apa yang belum aku ungkapkan.
“Baiklah. Mari kita bertemu dua jam lagi.”
Dia berulang kali mengungkapkan bahwa dia tidak percaya dengan kepergianku ke Australia. Dia tahu itu hanya akal-akalanku saja agar suasana serupa dengan film-film remaja Indonesia yang romantis kampungan itu. Dia mengejekku karena menggunakan cara-cara yang kuno di jaman yang sudah demikian maju. Aku tertantang dengan semua ocehannya.
“Terserah kamu. Yang penting aku sudah berusaha jujur padamu.”
Agak sedikit kesal sebenarnya. Belum tentu kami akan menjadi sepasang kekasih. Tapi, hubungan yang tak pasti ini telah dimulai oleh ketidakpercayaan darinya.
Dengan  sepeda motor aku melaju ke kota Manado. Tukang ojeknya beberapa kali aku peringatkan supaya menambah kecepatan. Dia bilang motor sudah melaju pada batas kecepatan maksimal. Ini gila! Demi bertemu dengan seorang gadis aku memaksa tukang ojek untuk secara tak langsung membunuh kami berdua di perjalanan. Benar-benar sesuai dengan teori-teori psikoanalisanya Sigmund Freud. Seks menjadi alasan orang untuk sukses. Seks menjadi alasan orang untuk kaya. Seks menjadi alasan orang untuk menjadi orang terhormat.
Perjalanan ditempuh tak sampai satu jam. Dengan langkah cepat aku turun dari ojek. Kuminta tukang ojek menunggu. Dari jauh kulihat Meisy dengan seragam putih hitamnya. Seperti pegawai koperasi. Tapi seragam itu begitu serasi dengan tubuhnya yang putih. Setelah setahun lebih kami tak bertemu, dia menjadi lebih Tionghoa. Aku merasa jadi tak pantas menjadi kekasihnya. Kulitku yang gelap, jika disanding dengannya pasti anak kami akan menjadi kopi susu.
“Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan, Kamang? Kalau kamu memang ingin membuat aku penasaran, kamu berhasil. Aku kalah. Kamu yang menang.”
Kupandangi terus wajahnya yang menawarkan sejuta keindahan. Tubuh rampingan yang molek serasa melarangku terbang ke negeri kangguru. Gadis-gadis putih di sana taklah sebanding dengan gadis yang ada di depan mata.
“Kamang, ayo katakan. Atau, haruskah kita mencari tempat lain agar semakin romantis?” kata Meysi dengan sedikit mengejek.
Aku menarik tangannya dan kami menuju ke tempat yang agak sunyi. Tepat di depan tokoh yang belum dibuka. Yang kuingat toko itu berwarna merah. Ada tulisan berbagai jenis merek ponsel. Meysi tidak sedikitpun merasa risih aku membawanya kesitu. Malahan, dia menatapku dengan pandangan menantang. Tak kusangkah gadis yang beberapa tahun lalu masih menggunakan seragam SMP ini sudah siap-siap ikut perpeloncoan sebagai mahasiswa baru. Sedari masih di kampung dia tak pernah terhindarkan oleh tatapan mataku jika melirik. Selalu saja dia menjadi tujuan dua mata keranjangku.
“Apa sih yang ingin kamu bilang, kamang?”
“Aku tak mau berbasa-basi sekarang. Aku suka kamu. Aku tak peduli kalau kamu mempunyai perasaan yang sama denganku. Aku aku puas kalau sudah bisa mengatakan isi hatiku yang telah lama dipendam.”
Dengan gerakan tak terduga kini aku sudah ada dalam dekapannya. Beberapa kali bibirnya yang selalu basah itu mendarat tepat di wajahku yang berkeringat karena matahari mulai garang memanggang. Aku mendapat tiga kali kecupan berturut. Satu di dahi. Satu di pipi dan satu lagi dibibir.
“Sebenarnya kamu mau kemana?”
“Aku akan ke negeri yang dibangun oleh orang narapidana yang dibuang. Aku akan ke Australia. Kutunggu aku kembali. Segera setelah aku tiba di Manado, aku akan langsung menemuimu.”
Meysi terdiam. Dia kini percaya. Dia mulai merasa kehilangan. Sesuatu yang baru didapatnya kini harus dipisahkan oleh samudra yang luas. Kini lamunannya melampung ke negeri kangguru. Kepalanya mulai menghitung lamanya tiga bulan itu. Padahal bagi orang yang dimabuk cinta. Satu hari itu sama dengan satu tahun.
“Aku harus pergi sekarang. Kalau tidak, nanti ketinggalan pesawat.”
Meysi kelihatan lunglai. Tak sepatah kata meluncur dari mulutnya. Aku melompat ke punggung sepeda motor. Dan memberi isyarat agar dengan kecepatan penuh menuju ke bandara. Meysi tampak belum siap dengan kepergianku. Dia memikirkan tindakan terakhirku yang menghindari ketika ia akan sekali lagi mendekapku. Aku tak lagi berpaling padanya. Tapi aku tahu dia terus memandangi punggungku sampai menghilang di tikungan.

***
Tiga bulan kemudian, sebelum pulang ke Manado aku dan rekan-rekan peserta penerima beasiswa dari daerah lain harus tinggal seminggu di Jakarta. Program yang menghabiskan uang negara  yang banyak itu harus dievaluasi. Aku maunya itu ditiadakan saja. Berbargai alasan kubuat sendiri untuk membenarkan bahwa argumentasiku bisa dibenarkan. Jadinya, selama seminggu itu aku tak fokus sehingga aku tak sanggup menyusun laporanku. Supervisor memberikan teguran pedas. Aku tak menunjukkan sedikitpun peduli. Sudah berani karena telah kembali dari menikmati semua kegiatan  dengan gratis yang fasilitasnya mungkin nanti akan dirasakan oleh negara Indonesia seratus tahun lagi. Setelah tiga bulan ponselku tak pernah aktif, kuputuskan untuk mengeledah travel bagku untuk menemukan benda mungil itu. Sony ericson mereknya. Kuisi listrik sebentar. Lalu aku mengirimkan sms ke nomornya Meysi. Tak ada balasan. Laporan smsnya gagal. Kucoba telpon. Tapi tak ada sahutan. Hanya suara mailbox yang beberapa kali mengingatkan bahwa nomor itu tak lagi aktif. Bagaimana bisa?
Aku mengirim sms ke nomor lain. Nomor temanku yang bernama Fredi. Dibalas. Dia bahkan memberikan nomor barunya Meysi. Malamnya, aku mengirimkan Meysi sms. Dia menelponku. Tak puas dengan itu, kami juga saling menelpon. Hari-hari selanjutnya juga begitu.
Tiga hari sebelum kepulanganku ke Manado, tiba-tiba Meysi mengirimkan sms aneh. “Mang, jangan kirimi aku sms ya. Jangan juga telpon aku. Aku saja yang sms atau telpon kamu. Janji ya. Aku cinta kamu.” Karena tak ingin mengecewakan sang kekasih, aku melakukan seperti yang dia minta.

***
Aku tiba di bandara Sam Ratulangi sore. Kira-kira pukul empat. Aku langsung ke Tomohon menaruh barang-barang. Semenjak pagi tak ada sms lagi yang Meysi kirim untukku. Ingin sekali aku memberitahu kepulanganku. Tapi aku tak boleh mengirimnya sms ataupun menelponnya.
“Sms tak boleh. Telpon juga tak boleh. Ah, berarti miskol boleh. Aku miskol ah.”
Mungkin Meysi akan marah juga dengan tindakanku ini. Namun, tentu kerinduannya bertemu pasti lebih besar dari marahnya bila aku nekat miskol. Lagipula aku tak melakukan serong. Justru ini adalah bukti bahwa aku sayang sama dia. Tiba-tiba ponselku berteriak. Volume nada deringya diatur maksimal.
“Jangan lagi ganggu Meysi. Dia sudah akan menikah. Aku Lee Kwan, pacarnya.”
Pasti ini lelucon. Dia tentu akan membuat kejutan sebagai counter kejutanku. Dasar! Ternyata Meysi juga orangnya suka menghidupkan suasana. Dia memang suka memberi tantangan. Ku ketik.
“Oh begitu. Aku teman sekampungnya. Aku hanya akan bicara sebentar berkenaan dengan program organisasi pelajar kami.”
Harapanku kata-kataku itu akan membuat permainan akan semakin mengasyikan. Kalau dia hendak bercanda, baiklah. Aku juga bisa bercanda.
“Kamu Kamang kan? Aku sudah tahu siapa kamu. Meysi sudah menceritakannya. Kamu tak usah lagi menelpon dia. Kami akan segera menikah bulan depan. Tolong, pahami dan maklumi.”
Mataku tiba-tiba berhenti berfungsi. Aku hanya bisa melihat satu warna. Gelap. Tubuhku memberat. Nafasku tersengal-sengal. Seperti mendaki puncak gunung Kalabat. Yang ku baca barusan bukan lagi untuk kepentingan kejutan. Itu adalah keterusterangan yang kejam. Itulah merupakan penyingkapan penghianatan. Sesuatu yang dalam menghujam dan merobek hati tanpa ampun. Pukulan telak yang membuatku tak sanggup lagi bangkit.

***
“Halo Desi. Masih ingat aku? Tak tahu mengapa aku jadi kangen sama kamu.”
Sepenggal sms telah melesat cepat masuk ke inbox ponsel seorang gadis lugu dan malu-malu.
“Hei…halo kakakku yang ganteng. Sudah pulang ya? Tumben, mau mengirimi aku sms.”
Rasa dendam kepada gadis bermata sipit itu tak tertahankan. Rasanya ingin menangis. Namun, ihktiar itu kubuang jauh-jauh agar tak memperalukan bangsaku. Kaum lelaki.
“Datanglah ke tempatku. Boleh? Aku berbincang sebentar.”
Aku sangat yakin gadis lugu itu tak akan menolak tawaran dari cowok idamannya. Mereka adalah tipe gadis yang mau mengorbankan apa saja demi sang pujaan hati.
“Apa? Masa aku yang kesana? Kakak dong yang kesini.”
Kalimat itu hanyalah basa-basi. Kalimat itu sebenarnya berarti sebaliknya.
“Aku masih capek. Mabuk perjalanan. Kalau kamu tak bisa. Aku tak memaksa. Selamat malam. Hopefully, I could see you tomorrow.”
Serasa mau pecah kepalaku. Tak sanggup aku menerima kenyataan dipermainkan oleh kekasih yang aku anggap setia. Dia tak ada bedanya dengan leluhurnya yang suka ingkar ketika berniaga dengan penduduk nusantara yang baru belajar berdagang. Jendela kamar ku biarkan terbuka agar aku bisa melihat bintang gemintang di langit. Aku melihatnya. Tapi semua menertawakanku. Tak sedikitpun bintang-bintang itu berempati. Seoleh mereka mau mengajariku menerima hukum romantika: bersiaplah untuk menderita jika hendak menyinta.
“Aku akan kesana! Tunggu ya kakakku yang ganteng.”
Tersungging senyuman di sudut bibirku. Tanda kemenangan. Aku mengejek diriku yang setengah. Dia tampak bersedih setelah ditipu. Sementara diriku yang setengah terus bersikap positif. Dia memang satu prinsip: Kalau satu pintu tertutup maka pintu lainnya akan terbuka lebar. Untuk apa menangis ditingalkan seorang gadis, sementara gadis lain tergila-gila menunggu untuk dinikmati.
“Aku sudah di depan.”
Dengan langkah kemenangan aku menuju depan rumah kosku. Menjemput gadis yang siap berkorban apa saja untuk mendapatkanku. Gadis yang matipun rela asal mendapat perhatian dan kasih sayang.
Aku terkejut. Tak percaya apa yang kulihat. Gadis lugu yang kutunggu mengenakkan kain penutup kepala. Bukan kain biasa. Dia mengenakkan kain untuk melindungi kesucian. Kain yang kontras dengan keinginan liarku saat ini. Tapi, apa boleh buat. Biarlah semua mengalir seperti air.
“Ayo…kita duduk saja di sini. Kita duduki anak tangga itu sambil memandangi langit yang penuh bintang. Bagaimana kabarmu. Kamu lain sekarang. Tiga bulan banyak merubah lingkungan di sini. Termasuk kamu. Termasuk lainnya yang sebenarnya tak aku inginkan berubah.”
Gadis lugu hanya diam. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya di balik kerudung putihnya. Kini dia menjadi pendiam. Berbeda dengan komunikasi via sms.
“Kamu mau menjadi pacarku?”
Desi tak bergerak. Kata-kata yang tak diharap tiba-tiba muncrat keluar dari mulut gombal lelaki yang baru saja menjadi korban keberingasan gadis Tionghoa. Aku tak membutuhkan jawaban. Kalimat itu sudah cukup menjadi tiket agar aku bisa berbuat apa saja dengan dia. Demikian pikiran pongah liarku. Seiring malam semakin dingin karena kian larut kurapatkan badanku ke tubuh Desi. Awalnya dia tampak canggung. Apalagi aku berusaha menciumnya dengan membabibuta. Dia berusaha menghindar. Saat bibirku melumat bibir miliknya, kami seperti tersengat listrik. Bergantian tubuh kami saling menindih di atas lantai berubin putih. Baru saja diajari tapi dia cepat menjadi mahir.
“Kakak sudah biasa ya melakukan ini dengan gadis lain.”
Kesibukkanku mengerayanginya tak sanggup dihentikan dengan kalimat itu. Malahan semakin terpacu untuk mencapai puncak paling tinggi. Kami lepas kendali. Pertahanan Desi bobol menjelang subuh.

***
Hari-hari selanjutnya aku lewati tanpa Desi. Dia telah menjadi gadis di urutan di atas sepuluh.  Dia adalah gadis pertama yang menerima proyek balas dendamku yang seharusnya tidak perlu. Sangatlah tidak adil bila Desi dan gadis lainnya yang menjadi korban. Namun, nasi telah menjadi bubur. Kini aku sudah dengan Windy. Gadis yang akan menjadi korban urutan ke empat belas.
Yang berbekas dari sekian banyak korban itu hanyalah Desi. Dia satu-satunya yang masih suci yang sia-siakan. Kami putus di saat cinta-cintanya sedang bersemi untuk pertama kali. Dia berharap kami menjalin cinta hingga ke pelaminan. Dia telah merencanakan segala hal yang baik untuk kami. Termasuk acara HUTku. Pernah sewaktu saya sakit, dia menjagaku berhari-hari. Dia berbuat laiknya seorang istri yang rela mati demi suami. Hubungan kami berakhir saat umurnya mencapai tiga hari. Sempat dia mengacam untuk bunuh diri ketika mendengar aku tak mau lagi. Karena rasa cintanya yang sucilah, dia akhirnya merelakanku menjauh darinya. Waktu itu aku begitu gagah. Tampan dan menjadi sasaran kekaguman orang-orang. Kini, setelah lulus kuliah. Aku bukan lagi apa-apa. Pria yang tak punya apa-apa yang tinggal di desa. Desi kini telah menjadi seorang pramugari. Dia meraih apa yang selalu diimpikannya. Berulang-ulang dia memberitahuku. Tapi aku tak sedikit memperhatikan. Setiap kali pesawat melewati desaku, aku menunduk malu. Malu, jangan-jangan Desi sedang melihatku dari atas. Malu karena aku kini lusuh. Setiap hari menyalahkan diri sendiri. Bagaimana aku sudah begitu sangat dungu?