Bunga
Bukan hanya
perempuan yang tergila padamu
Tetapi aku
juga
Karena aku
pengagum keindahan
Mengagumi
wewangian
Engkau mengajariku kehalusan
Dan kelembutan
Engkau adalah ciptaan Tuhan
Engkau adalah gambaran kelembutan
ilahia
Aku memujamu
Banyak insan
memujamu
Kau adalah
teman dalam kesendirian
Kau adalah
sahabat dalam perenungan
Engkau bunga
Memamerkan keindahan tanpa mengharap
bayar
Engkau sadar bahwa kemolekan hanya
sementara
Hingga tak lama-lama bermega
Tondano, 23
Maret 2013
NASIB
SEORANG BLOGGER
Berjam-jam
di depan layar
Memaksa
sepasang mata mengalirkan air
Jari-jari
terus saja melompat ciptakan harmoni pada papan tuts
Semua demi
menuangkan pikiran memenuhi kertas
Belum tentu akan dibaca
Tapi aku pulang dengan perasaan puas
Semoga perasaan dan harapan menyebar
luas
Menonjok keras para penguasa yang
hilang waras
Bukan hanya
untuk ikut arus zaman
Bukan hanya
menunjukkan kita tidak gaptek
Namun
menciptakan budaya Indonesia baru
Masyarakat
yang gemar bergaul dengan buku
Walau hanya bermodal sedikit rupiah
Ingin ku jangkau seluruh dunia
Dunia maya menjadi semakin nyata
Membuktikan teori “aku berpikir, aku
ada”
Berkaryalah
, tabrak rintangan
Jangan pikir
tentang apatah kelak dilirik terbitan
Kita
berkarya untuk penyadaran
Kita
berupaya untuk perubahan
Tataaran, 13
Maret 2012
Datanglah
kiamat
Tak maukah
kita menyandang
Kedudukan
terhormat
Sementara
laku kita
Jauh
daripada cahaya
Bagaimana bias membangun negeri
Bila kita tak jinakkan diri sendiri
Tak malukah
kita
Berkedudukan
tinggi
Sementara
mampu kita
Tak lebih
baik dari budak
Bagaimana kita berbangga diri
Bila tak punya harga diri
Dunia ini
penuh kemunafikan
Dunia ini di
jelang jurang
Kiamat,
cepatlah dating
Biarlah yang
telah using
Tertelan,
hilang tak lagi terlahirkan
Untuk apa mengada di dunia
Bila harus berebut-saling makan
Hidup begitu tak ubahnya binatang
Kini kita
hanyalah binatang
Andalkan
naluri tak rela berbagi kandang
Kini, kita
persis hewan
Maunya
sendiri tak junjung aturan
Hantu
Penasaran
Burung kerok
menohok-nohok langit
Dengan suara
serak hingga berak
Kami tahu,
kami sudah tahu
Itu pertanda
serorang warga telah dibawa jauh
Burung berbunyi tak henti
Memekak telinga berhari-hari
Ada apa ini? Secepat itukah kita
mengantri?
Suami hilang istri, istri hilang suami
Atau, tak
perlu bertanya pada ilahi
Baiknya pada
diri sendiri
Kita selalu
mencari kambing hitam
Dalam kita
ada borok, bau busuknya tak tertahankan
Barangkali, hidup kita banyak meniru
orang kota
Sehingga terserang wabah kota
Penyakit menghisap badan
Gara-gara banyak orang makin daging
haram
Kata dokter
ada yang salah
Dengan pola
makan
Kita mampus
oleh kerakusan
Kita mampus
oleh ketamakan
Kita mati dalam lumbung
Karena kedunguan
Kita mati tanpa ampun
Karena ketololan
Lanjutlah
dengan ketololan
Lanjutlah
dengan kedunguan
Kalau mau
berakhir mengenaskan
Kalau mau
berakhir dan jadi hantu penasaran
Sajak
untuk kita
Mungkin
semua ini tak bias lagi membaik
Kendati
orang baik berjuang setengah mati
Perjuangan
mereka tak berarti
Perjuangan
hanya setitik
Hanyalah Yang Maha Kuasa yang bias
Kita bukanlah apa-apa
Dunia ini sedang hancur oleh ulahnya
Punah oleh ketidaksadarannya
Kita bukan
membangun rumah
Tapi kuburan
Untuk kita
Untuk semua
Kian berkembang semakin binatang
Mungkin di dunia lebih banyak setan
Kita tak kuat, kita tersesat
Masuk dalam jerat oleh para sahabat
Ingin ku
gugat Tuhan
Harusnya dia
membunuh para setan
Tapi dibiarNya
berkeliaran
Manusialah
yang jadi korgan
Tapi, apatah aku?
Terbuat dari debu
Pula kembali mendebu
Hanya sanggup mengeluh
Kalau
mengubah dunia adalah cita-cita
Itu tak
lebih dari sebuah euforia
Mengubah
diri sendiri sudah susah
Namun, bukan
berarti tak bias
Kita telah tersesat
Karna selalu abaikan petunjuk
Cerita hidup kita menjelang tamat
Sbab tak mau rujuk
Ini salah
siapa?
Orang tua,
yang wariskan kebiasaan?
Atau, salah
sendiri tak mau percaya kebijaksanaan?
Barangkali,
mestinya sekarang pikirkan masa depan
Kembalilah
Kita mulai dari awal
Kejarlah hikmat
Lakukan moral
Belajarlah
mendengar
Pahamilah
suara-suara
Menarilah
mengikuti irama
Tembangkan
lagu-lagu indah
Bangunlah rumah nan bersahaja
Buanglah niat membangun Istana dan menara
Rumah sahaja ditinggali keluarga
Istana dan menara untuk seorang raja
Tanpa
kemenangan adalah kesederhanaan
Bila masih
berlomba kita sudah kalah
Karena
menang adalah kesendirian
Jangan
bertanding, baiklah bersanding
Lupa diri
Panas pagi menyengat
kulit
Keringat
masih enggan menembus pori-pori
Dari tadi
aku sudah sampai di sini
Sendiri
bertemankan sepi
Aku melihat gedung-gedung bercat putih
Bertolak dengan langit, biru berganti
abu-abu
Persis suasana di Gaza saat ini
Dengar-dengar, Israel kirimkan terus
banyak pembunuh
Gedung-gedung
bercat putih
Diatasnya
terdapat kubah
Dimana ciri
Minahasanya?
Bupati
disini senang meniru timur tengah barangkali
Manguni dipaksa lengser oleh merpati
Tapi selalu mengaku Tou Minahasa
sejati
Kalau pemimpin sudah krisis identitas
Pantaskah dia digelari Tonaas?
Rupanya
banyak yang bersyukur
Bilai
nilai-nilai leluhur lebur
Nampaknya
kita lebih suka mengekor
Tak punya
jiwa pelopor
Bukan berarti aku benci dunia luar
Namun, aku ingin orang tahu darimana
kita berasal
Kita dilahirkan dengan bekal
masing-masing
Jadi, haram menyembah yang asing
Terbang jauh
burung-burung
Tak lupa
mereka dimana sarang
Ingin
dipandang?
Berikan
barang dari hasil keringat kita yang bercucuran
Alam
Ingin Diperhatikan
Di gereja
berhamburan pembungkus permen
Banyak juga
kantong makanan ringan
Jemaat
sampai pendeta suka lempar sampah sembaran
Bagaimana
bisa mereka terus gembar-gemborkan perihal iman?
Di gedung sekolah lebih banyak guru
tak juga pentingkan kebersihan
Bertolak belakang dengan slogan-slogan
“Sekolah sebagai pusat kebudayaan”
Lembaga ini mengusir murid jauh dari
pendidikan
Kantor-kantor
pemerintah tak ketinggalan
Mereka
pandai menyimpan kebohongan
Selalu
berteriak-teriak “Penting menjaga lingkungan”
Dalam badan
mereka penuh kekotoran
Bersih harus bermula dari dalam
Harus berawal dari kita
Orang meniru perbuatan
Mereka tak paham kata-kata hampa
Tanpa sadar
kita meracuni air
Air yang
kita minum
Tanpa sadar
kita mencemari tanah
Tanah dari
mana makanan kita meruah
Barangkali tidak sadar, kita kotori
udara
Udara yang kita hirup tiap saat
Mungkin juga kita lupa
Menggunduli hutan mengundang malapeta
Berterimakasihlah
pada alam
Bukan
sebaliknya, mencipta ketidakseimbangan
Bersyukurlah
pada Tuhan
Jagalah apa
yang Dia percayakan
Baiklah kita kembali berteman dengan
alam
Keakraban dengannya adalah kenyamanan
Baiklah kita bersahabat dengan
lingkungan
Kedekatan dengannya adalah kebahagiaan
Hiduplah
dari kecukupan alam
Usah
teknologi berlebihan
Alam menawarkan
kesembuhan dan pemulihan
Kecanggihan
tanpa batas hentar kita
Pada jurang
penderitaan
Gara-gara alam tak dapat penghormatan
Ia pun berhenti berikan kesejukan
Gara-gara lingkungan tak terima
perhatian
Ia pun tampil dengan wajah muram
Umur bumi
bergantung pada penghuni
Umur tubuh
bertopang pada jiwa
Rawatlah
rumah, sebab disitulah istana
Peliharalah
tubuh, karena disitu berdiam Alla
Privaitasasi air menyumbang sampah
plastik dimana-mana
Kita mengonsumsi air bercampir bahan kimia
Kenapa air kini mesti pula dibeli?
Padahal seharusnya gratis
Tanya itu
pada bapak dan ibu terhormat
Tanya kenapa
semua yang menguasai hajat hidup orang banyak
Telah dibiar
mereka dijarah para penghisap darah
Tanya kenapa
tak ada sisa untuk rakyat
Dicari
Guru yang Tahu Mendidik
Dengan
langkah tergesa
Siswa siswa
menuju sekolah
Mereka asyik
bercanda tawa
Berbagi
peristiwa tadi malam
Yang lainnya datang dengan sepeda
motor
Terlambat kerna tadi malam telat molor
Berpacu dengan guru
Yang juga tak bisa datang tepat waktu
Para siswa
berbaris bak prajurit
Setiap pagi
berebut tempat bebas cubitan matahari
Keringat
menyembur keluar
Menguak bau
badan tak sedap
Maka setiap pagi mereka berontak
“Sudah waktunya bertanya”
Sebagai tanda pubertas
Mencari-menunjuk identitas
“Anak-anak
kini makin liar tak terkendali”
Begitulah
keluh guru yang hilang nyali
Kenyataan
mereka hindari
Tak mau
susah payah cari solusi
Yang paling mudah, melecut mereka
Membentak mereka
Mengancam tidak dinaikan kelas
Atau membiarkan saja
Kalau begini
caranya
Berarti kita
sedang meraksasakan ular
Untuk
melahap kita
Hadapilah
Ulah Kita
-Kapan kiamat?
Kita sedang
kiamat, kataku
Sedang
kiamat oleh ulahmu
Sedang
kiamat oleh ulahku
Masihkah
kita hendak mengelak?
-Seperti apakah kiamat?
Bila nurani tak ada tempat, kataku
Tak ada tempat di hatimu
Tak ada di hatiku
Masikah kita mau mendebat?
Bukankah kiamat berarti tamat?
Kita
sementara menuju kesana, kataku
Kita berarak
menjemputnya, bukan begitu?
Kita berarak
menyongsongnya, kataku
Masih tidak
sadarkah kita?
Bagaimana bisa?
Kitalah penyebab kiamat, kataku
Kitalah biang keladinya, kataku
Kitalah bangsatnya, kataku
Masihkah kita menolak?
Apakah sudah terlambat?
Proses wafat
tak bisa berhenti, kataku
Arakan sudah
lepas di jalan, kataku
Bahkan
mereka anggap sedang menuju surga
Tinggal,
maukah kita memperlambatnya?
Hikayat
Guru Murid
Para murid
mencontoh
Pada sosok
yang bodoh
Sosok yang
banyak melongoh
Daripada
menjadi tokoh
Para guru hanya berlalu
Seakan tak tahu
Apa yang berlaku
Padahal keadaan kita kian memburuk
Lolombulan
malu melihat ke bawah
Tingkah kita
sudah sangat kelewat batas
Makin egois
dan saling memangsa
Yang berduit
menghimpun tanah
Berlapang-lapang demi anak mereka yang manja
Terpaksa
banyak yang kehilangan tanah
Nanti mereka didesak pula ke kota
Dan menjadi tukang minta-minta
Anak-anak gadis jadi kupu malam
Ayah menjadi pencuri anjing dan ayam
Dijual ke restoran-restoran
Semua hanya karena harus bertahan
Para murid
hilang harapan
Orangtua pun
banyak yang tak bisa diandalkan
Mereka
berusaha mencari hiburan
Menghapus
lara di kala mereka masih rentan
Para guru yang tak punya hati
Membuang jauh rasa peduli
“Biarkan mereka merintih”
Teriak guru yang telah kuburkan nurani
Para ibu
yang miskin
Berseru-seru
kepada ilahi
“Biar rahim
kami kering.
Agar
penderitaan ini tak terwariskan.
Cukuplah
hanya kami.
Mereka telah
berpindah ke bumi
Yang kaya dengan enteng
Mereka berkilah
“Kalian malas. Orangtua kalian malas.
Tak sudi kai berbagi hasil kerja keras!”
Bagaimana
bisa?
Kami
dimiskinkan!
Kami
diasingkan!
Alat
produksi dimonopoli
Lapangan
kerja dibatasi
Pendidikan
sarat diskriminasi
Ada jurang
lebar dalam kualitas
Kerja bagus
harus ijasah universitas
Di Indonesia kita dibayar
Berdasar ijasah. Bukan kerja
Para murid
mencontoh
Pada sosok
yang bobrok
Sosok yang
senang membelot
Lainnya
berpeluh, sedangkan dia sibuk ngorok.
Mengajar
Mengajar
laksana berkebun
Dimulai dari
pembersihan
Mencabut
habis segala rerumputan
Agar besar
beni ditebarkan
Mengajar itu adalah menanam
Membantu menyiram di kala kekeringan
Mencabuti alang-alang
Yang bisa merintang pertumbuhan
Mengajar
adalah kerja pendidik
Menanam
adalah kerja petani
Dua-dua
punya falsafa yang sama
Dua-dua
mengharap hasil yang serupa
Kalu buruk petaninya
Tak baik hasil panennya
Kalu tak becus pendidiknya
Tak baik sumber daya muridnya
Petani harus
rajin melihat tabiat alam
Pelajari
bulan dan letak benda-benda langit
Pendidik
mesti tekun merenung
Perhatikan
lingkungan dan pahami yang pelik
Mengajar adalah panggilan
Untuk dan demi masa depan
Mengajar adalah pengabdian
Agar ada perubahan
Wahai
pendidik, resapilah dan tunaikanlah!
Pencerahan
di Sore Hari
Sinar
matahari sore menembusi jendela
Hangatnya
tak seperti beberapa jam lewat
Lama sudah
ternyata aku mengurung diri di kamar
Beberapa
buku kecil dan besar kupindah
Menata buku-buku yang berjejer itu
Merupakan kerja yang aku suka
Tambah lagi banyak rayap-rayap nakal
Melubangi kertas-kertas tebal
Mereka tak tahu semua itu dibayar
mahal
Seandainya mereka tahu!
Buku yang
jumlahnya mendekat ribuan
Setiap hari
memelas minta perhatian
Menawarkan
sejuta istilah
Sejuta
pengetahuan
Aku berharap kebiasaanku menjangkit
Biar semakin banyak yang tercerahkan
Lebih bijak melihat dari banyak sudut
Karna orang begitulah yang utamakan
kebenaran
Tak terjebak seperti katak dalam
tempurung
Sebab pecinta kebenaran dekat dengan
Tuhan
Matahari
nyaris tertutu semua oleh Sinonsayang
Aku pun
nyalahkan komputer menyetel lagu-lagu
Kubuka beberapa
folder
Foto pacarku
menyebar pada layar datar
Semuanya
melihatku merayu
Aku
tersenyum dan mulai merindu
Dalam diam
terucap “selamat sore sayang”.
Cinta
Sejati Kekasih
Seperempat
abad lebih aku kini
Sedang dikau
masih di ujung belasan
Kepalaku tak
lagi lebat
Kejelekkan
pelan-pelan mulai merapat
Kau bilang,
“Aku malah makin sayang.
Aku malah
kian terpana.”
Ketulusanmu memelukku
Kuhargai sepenuh hati
Memang,
kadang aku terheran-heran
Kepadaku
engkau menjatuhkan pilihan
Keremajaan
t’lah engkau korbankan
Masa
senang-senang engkau tinggalkan
Demi aku
yang sama sekali tak romantis
Buat aku
yang taklah sepadan
Kemesraan yang penuh
Kusuka sampai mati
Kau taburi
hidup ini dengan bunga warna-warni
Meruah
hari-hari dengan pengorbanan diri
Kau bilang,
“Ku ingin kau selalu di sini.
Hanya kau
yang mengajari bagaimana mestinya hidup dijalani.”
Tak
kusangkah sepenggal pesan singkat
Yang kukirim
saat kebetulan kau penat
Ciptakan
selamat, sesak terlewat
Perhatianmu
Kurindui setiap detik
Terima kasih
kerna kau baik
Memberi
warna pada kertas putih
Mengirim
harapan untuk hari-hari yang belum pasti
Sajak
untuk Della (Sebuah keluhan)
Della,
kuharap kau baik-baik di sana
Janji yang
tak pernah kita buat
Semoga tetap
kau ingat
Hingga kau
selalu yakin di sana aku pun ada
Kita sama-sama berjalan
Saksikan banyak kegagalan
Ada tahun kita berkelimpahan
Ada tahun terpaksa kita menerima
keadaan
Telah lama kita berpacaran
Sudah dua tahun lima bulan
Kalau usia,
kita sudah matang
Sudah bisa
bikin anak sendiri
Sebagai
penerus keturunan
Biar dia
jadi seorang polisi
Ah jangan!
Tak sudi aku, jadi alat pemerintah
Bisa-bisa mereka mencelakai kita
Lihat saja!
Gara-gara tuntut keadilan
Polisi-polisi itu pentungi kita
Gara-gara kita mohon harga diturunkan
Pemerintah suruh tembaki kita
Della,
menikah nanti saja
Moga-moga
kelak pemerintah sadar juga
Aku tak mau
anak-anak kita ditembak semua
Kalau mereka
kini lahir
Lekas mereka
tersingkir
Sebab
pemeringah tak ingin anak pintar
Yang mereka
ingin anak-anak lapar
Agar mudah
diperintah-perintah sebagai budak
Tak Ada
Arti
Memandang
Lolombulan dan Sinonsayang
Dalam
suasana sanubari tak berujung
Aku tersesat
pada dunia nyata
Gantungkan
harap di cabang yang hampir patah
Ladang bersama kami garap
Pada mata bajak bertetesan keringat
Namun kami taklah bijak
Masing-masing arahkan bajak pada
sasaran berbeda
Anak-anak
berlompat-lompat
Sudah keluar
dari kandang
Mereka
kehilangan gembala
Dia sibuk
dengan rupa-rupa sia-sia
Aku serupa gembala tolol
Melihat mereka yang tak punya nurani
Tak paham mereka mendidik
Yang mereka pentingkan ialah gaji
Aku hanyalah
orang tolol
Di antara
mereka yang tak memiliki
Kemampuan
untuk memahami
Keadaan kita
di hari nanti
Aku menderita
Menanggung sendiri penyakit kita
Aku ingin meronta
Tapi bagi mereka itu tak ada makna
Harapku
Ingin sekali
aku melihat generasi berikut
Saling
menopang bukan saling sikut
Bukan hanya
membeo
Atau serupa
bunglon
Sebab kita sebenarnya begitulah
Tak sadar, hanya ikut-ikutan
Kreatifitas menjadi tumpul
Banyak meniru yang tak perlu
Seiring
waktu terus beraktifitas
Kita pingsan
mimpikan yang tak pantas
Jiwa kita
mandek
Buntuh oleh
perbuatan pasar bebas
Tak ada kata “tak bisa”
Untuk mereka yang terus berusaha
Jangan menyerah pada masa
Nasib tergantung pada kita
Jauh hingga
angkasa
Orang
Amerika telah menjelajah
Semua bisa
digapai
Asal kita
berupaya
Tentu kita ingin bahagia
Menjalani hari esok tanpa ragu
Tentu kita impikan sejahtera
Menapaki detik per detik tanpa malu
Belajarlah
pada yang tahu
Meniru hanya
yang bagus
Rubahlah
sesuatu bila itu perlu
Toh,
kesanalah kita menuju
Rindu
Kepada Kekasih
Beberapa
hari ini aku tak melihatmu
Tak
mendengar suaramu
Tak
menyentuh kulitmu
Tak mencium
bau tubuhmu
Namun kau hadir dalam benak
Kau muncul dalam perasaan
Kau terukir dalam catatan
Kau tersentuh dalam percakapan
Jangan kau
salah sangka di sana
Di sini aku
tetap sama
Hanya ada
sedikit masalah
Ponselku
belum terisi pulsa
Ciumlah pakaian yang kutinggal di
kamar
Karena bau itu bagian diriku
Bacalah buku yang kusarankan
Lewat dunia ide kita bertemu
Pulanglah
kau sayang
Bila ada
libur barang seminggu
Kan kumanja
kau di atas pangkuan
Dalam
dekapku kau boleh menuntut
Pulanglah sayang
Hadirmu begitu kutunggu
Biarlah kita ukir kenangan
Janganlah kau merajuk
Lempar
Iman
Satu lagi
kejadian
Seorang
siswa kedapatan mabuk
Padahal baru
kelas dua SMP
Cari uang
belumlah tahu
Satu lagi kejadian
Beberapa siswa kedapatan berciuman
Padahal masih ingusan
Menimang bayi belumlah tahu
Satu lagi
kejadian
Seorang
mahasiswa bunting tiga bulan
Padahal baru
duduk di semester dua
Cari
pacarnya entah telah kemana
Satu lagi kejadian
Seorang bayi tewas karena kurang
perhatian
Padahal ibunya belumlah menikah
Ayahnya juga lari dari tanggungjawab
Telah banyak
kejadian
Anak gadis
hijrah ke kota-kota
Dengan kedok
mencari kerja
Tak
berijasah andalkan raga
Telah banyak kejadian
Gadis-gadis kita pulang membawa harta
Keluarga terima mobil mewah
Darimana uangnya, orangtua tak pernah
tanya
Gereja juga
seolah memberi iya
Memberi
contoh mengejar kaya
Yang penting
jemaat terus memberi uang
“Masa bodoh,
pabila tak beriman”
Terselip
dalam Semangat Sejarah
Engkau
gelisah setiap malam
Banyak cita
tak tumbuh dan berkembang
Ya, engkau
sudah pasti gelisah
Menyaksikan
generasi menuju ke arah yang salah
Para tetangga bukan mereka
Bukan mereka yang mau diajak bicara
Tentang cita
Tentang kita
Engkau
gelisah di atas ranjang
Merenung
timbunan kegagalan
Mengapa
mereka malah menghalang?
Malah
membiarkan kapal karam
Pikir mereka aku orang gila
Hanya karena ada yang beda
Hanya karena menentang realita
Hanya karena minta mereka buka mata
Engkau
terusan resah
Mereka tak
henti menghina
Memegang
teguh “yang sudah biasa”
Kepada
kesesatan mereka menyembah
Sangka mereka aku tak layak
Karena aku sendirian
Karena mereka banyak
Sangka mereka kebenaran memihak jamak
Engkau
selamanya resah
Lenyap dalam
kenangan
Pupus dari
ingatan
Namun akan
selalu bersama semangat sejarah
Pagi
Buatan Tuhan
Belumlah
lama mata tertutup
Pagi datang
menyusul
Cepat, cepat
sekali tidur berlangsung
Tak sempat
mimpi dirajut
Kami menembus tiang-tiang hujan
Rintik-rintiknya memagut wajah
Roda-roda berlari dikejar setan
Banyak kali kekasihku bilang,
“Pelan-pelan saja”
Akupun ingat
bahwa kami masih muda
Belumlah
banyak yang dikerja
Kecepatan
yang ditunggang kukekang
Demi
selamatkan dua nyawa
Memanglah indah laju dilambat
Sambil menikmati deretan rumah
Deretan sawah dan beragam tanam
Menghargai setiap karya Tuhan
Angin pagi
mendekap kami dingin
Kekasihku
tak tahan menahan ingin
Ingin
merengkuh, mengusir bersin
Oh amboi! Di
sudut bibir senyum tersungging
Dalam dada terungkap harap
Bila boleh umur jangan berhenti
Bila boleh biar ini jadi abadi
Terus muda meremaja
Namun, aku
hanya dicipta
Tentu Dialah
yang menetapkan
Kita hanya
sanggup berserah
Taat pada
sabda dan titahNya
Kupu Dan
Putri Kecil
Puteri-puteri
kecil berceloteh ria
Menangkap
kupu berwarna putih
“Hey! Ada
kupu raja.
Kupu ratu
juga ada”
Tiga anak perempuan itu
Melempar senyum pada kami yang duduk
Dua anak perempuan kembar
Senyuman elok diumbar-umbar
Puteri-puteri
tak berdosa
Menghias
indah suasana
Tidak lengah
mereka bertukar canda
Bertukar
pula cerita dunia khayal
Kini pergi mereka dibawa kakek
Bertiga mereka di punggung kendaraan
Kini mereka hilang tinggalkan kenangan
Bertiga berlalu sambil terkeke
Rindu aku
pada mereka
Tiga putri
kecil yang tak kukenal
Tak tahu
anak siapa
Mereka pergi
tinggalkan tawa
Kupu raja terbang
Mencari tiga putri
Kupu ratu memandang sedih
Kupu-kupu kini sendirian
Rinduku pada
putri-putri kecil
Terukir pada
sayap kupu
Kebasan
sayap kebebasan merapat
Pada putri
dan kupu aku mengingat
Tugas
Pemberian Tuhan
Bersama kita
tertawa
Menohok dan
menggelitik langit
Hembusan
angin barat merambat
Membuat
ngilu sendi-sendi
Aku senang duduk di sini
Belajar memahami dan mengerti
Melihat semua dari lain sisi
Mencegah kita dari selisih
Sungguh, aku
senang bila kita saling memandang
Membiar diri
larut dalam permenungan panjang
Ke jauh
jangkau pikir terbentang
Hati turun
dalam membenam
Aku senang duduk di sini
Agar pengalaman kita saling mengisi
Aku mau merengkuh engkau duhai kekasih
Berharap selamanya kita berbagi
Pada
matahari hampir terbenam
Benih bibit
kutitipkan
Harapan
bergantung pada masa depan
Masa depan
dua insan
Matari bawalah pesan-pesan
Katakan, diriku ini kerasan
Terkandung rindu dendam
Bilang dihalang akan kutentang
Matahari
kembalilah bersama sabda Tuhan
Datanglah
dengan iring-iringan
Jadilah
saksiku dalam juang
Juang demi
tanggungjawab yang ku emban
Galau
Sang Lelaki Itu
Hampir
seharian langit menyiram bumi
Malam basah
kuyup menahan gigil
Gigi-giginya
gemeletuk
Tubuhnya
berusaha diselimutinya
Tirai dekat jendela melambai
Kodok-kodok bersenandung
Burung-burung tidur setengah sadar
Jangkrik berderit gembira
Adalah
seorang lelaki galau
Mengembara
tak tentu arah
Berharap
beroleh keteguhan gunung
Seikhlas air
mengalir berduyun
Adalah seorang lelaki risau
Pikirkan keadaan kian kacau
Kepercayaannya tak bisa bertahan
Agama hanya alat manusia-manusia degil
Kabut
merapat berkumpul
Halangi
gemintang yang menebar pesona
Betapa si
lelaki meluntur pada agama
Kebenaran
tersingkir oleh tahayul nan betul
Si lelaki bimbang
Tak dapat dipercaya lagi sang nahkoda
Sang nahkoda mabuk oleh rayuan ombak
Sang nahkoda terbuju oleh semaraknya
rayuan ikan
Hikayat
Lelaki Cerewet
Lelaki tua
berlumur tawa
Setiap hari
mencipta canda
Rajin dia
berceloteh
Tentang hal
yang remeh
Kursi kosong ditinggal melompong
T’lah bosan rupanya mereka menyimak
Menyimak setiap kalimat
Kalimat seloroh sarat penat
Lelaki tua
kebanjiran kata
Tak
dikeluarkan sesakkan dada
Ia hanya
singkirkan beban
Bebaskan raga
dari kungkungan pikiran
Ia tak berharap lebih
Memelas dia tak ingin
Hanya siapkan saja kuping
Kata-katanya kuat melengking
Lelaki tua
serupa orang bijak
Mengumbar
kata tiada putusnya
Tak peduli
apa didengar
Terus saja
dia berkilah
Barangkali takkan berhenti
Dia seorang wicarawan sejati
Dibawa terus hingga mati
Karena sudah anugerah ilahi
Pesan
Mayat
Kalau aku
mati, kobarkan api
Biarlah raga
hangus menjadi abu
Tak mau aku
dilubangi ulat-ulat
Tak mau aku
berbau busuk
Usah sibuk mencari sebidang tanah
Sebidang tanah untuk tak bernyawa
Usah terbeban membeli kayu
Kayu untuk dia yang mati tubuh
Bila tersisa
sebuah penghormatan
Ceritakan
apa yang aku perjuangkan
Ceritakan
pula harapan
Tak perlu
tunjukkan nisan
Karena aku taklah mati
Hanya dari jauh mengamati
Dari dunia yang lain
Hanya bisa menyentuh dengan angin
Tertawalah
saat aku kaku terbaring
Hilangkan
upacara yang tak perlu itu
Cegah orang
itu memuji di atas mimbar
Kata-katanya
buruk serupa bau mulutnya
Jangan buat aku mual
Jangan buat aku muntah
Jenasah cepat membusuk
Bila biarkan mereka bodohi kita terus
Sajak
untuk Kita yang Diselamatkan
Kristus
tergantung siksa tak bisa merontah
Mereka yang
irih berdiri dengan pongah
Bersorak
gembira…
“Perebut
tahta pergilah ke neraka!” mereka berkata
Anak domba dengan berat beban di
punggungnya
Berkali-kali dilecut
Darah mengucur dari tubuhnya
Sumpah serapah pun diterimanya
Ia terhitung
sebagai pemberontak
Ia terhitung
orang yang terkutuk
Terseok-seok
dia melangkah ke Golgota
Orang-orang
memandang tanpa kata
Dalam keadaan itu mereka terus
mengolok
Tak putus-putus mereka mencambuk
Menendang, meludah sampai membuatNya
telanjang
Tapi Dia tiada mendendam
Dia
dikoyak-koyak dengan biadab
Agar kita
mendapat selamat
Dia siap
disembelih seperti domba
Karna
dosa-dosa kita
Camkan! Renungkan!
Paskah bukan selebrasi dengan rupa
pernak-pernik
Paskah adalah perenungan
Bukan perayaan gagah-gagahan
Camkan!
Renungkan!
Paskah
adalah pengorbanan
Pengorbanan seorang
kawan
Paskah
adalah penyelamatan
Camkan! Renungkan!
Paskah adalah menata
Menata jiwa
Bukan hura-hura tak bermakna
Camkan!
Renungkan!
Paskah
adalah menyadari salah
Menyadari
dosa dan kebohongan kita
Kebohongan
yang tersembunyi di balik senyum ramah
Ingat…
Dia sekarat agar kita tertawa
Dia wafat agar kita selamat
Kristus…
Engkau agung
dan mulia
Aku ingin
terus eluh-eluhkan diriMu
Dalam
tindaklakuku
Tradisi
Dunia Anjing
Dulu semeja
kita memberi
Santun kita
bergaul
Meski tradisional,
Beralaskan
daun pisang, sendok tak ada
Kini, kita berebut
Laksana kawanan anjing dilempari
tulang
Hilang malu
Seperti rusa tak berempedu
Padahal kita
bangga pada modern itu
Perkakas
serba canggih
Menu
bervariasi
Namun di
meja makan kita masih mengeluh
Dulu, kita terundang atas dasar
kerabat
Sekarang karena uang yang diharap
Dengan pongah berpesta ria
Berharap tetamu gunungkan hadiah
Aku rindu
pada dulu
Pada waktu
ada tulus
Aku rindu
pada dulu itu
Demi makanan
kita tiada beradu
Aku benci pesta kini
Sebab kupunya harga diri
Di rumah masih berlimpah nasi
Yang terutama adalah belas kasih
Lexy
Sual, Papaku
Lelaki tua,
tak pernah lelah
Hari-harimu
disarat kerja bertumpuk
Langkahmu
kian membungkuk
Tapi asamu
terlampau keras untuk patah
Kau bangun terburu-buru
Tak pulas kerna rindu pada ladang yang
sedang kau garap
Pulang rumah selalu malam
Semangatmu tak kunjung luruh
Lelaki tua,
yang kupanggil papa
Menjadi
anakmu selalu kubangga
Teladanmu
adalah warisan
Lebih berharga
dari mutiara
Beratus pohon nyiur telah kau tanam
Beratus sudah kau tanam cengkeh
Buah karyamu membuat panjang namaku
“Iswan Sual, S.S. Ohai! Ini
mahakaryamu papa”
Lelaki tua
yang mendamping mama
Laksana
langit kau setia
Indahkan
perintah ilahi
Kau buat
kami punya nyali
Dalam puisi kau terkenang abadi
Biarlah terus dilirik-lirik rawi
Kau panglimaku dalam setiap yuda
Pada kami tak kau membisik durjana
Jalan
yang Kupilih
aku bukanlah
yang kalah
hanya karena
tak bergelimang harta
tiada
populer
dan tidak
termasuk golongan orang pinter
janji pada diri t’lah terpatri
biarpun godaan dunia mengajak
takkan mampu meretas
prinsip-prinsipku aku akan tetap
begini
aku bukanlah
yang salah
Cuma karena
tak datang berdua
Tanpa
pembela
Dan tak ada
yang menopang
Tampak gila tidak berarti sinting
Dunia ini gampang dibujuk angin
Dininabobokan malam
Sampai-sampai memangsa saudara sendiri
Aku hanyalah
insan
Dengan
langkah pasti
Mencari
jalan alternatif
Terpisah
dari jalan kesesatan
Meski dihalang duri
Dengan tekad bulat akan kutelusuri
Walau tanpa seorang menemani
Aku yakin dengan jalan yang kupilih
Bunga
Bukan hanya
perempuan yang tergila padamu
Tetapi aku
juga
Karena aku
pengagum keindahan
Mengagumi
wewangian
Engkau mengajariku kehalusan
Dan kelembutan
Engkau adalah ciptaan Tuhan
Engkau adalah gambaran kelembutan
ilahia
Aku memujamu
Banyak insan
memujamu
Kau adalah
teman dalam kesendirian
Kau adalah
sahabat dalam perenungan
Engkau bunga
Memamerkan keindahan tanpa mengharap
bayar
Engkau sadar bahwa kemolekan hanya
sementara
Hingga tak lama-lama bermega
Tondano, 23
Maret 2013
NASIB
SEORANG BLOGGER
Berjam-jam
di depan layar
Memaksa
sepasang mata mengalirkan air
Jari-jari
terus saja melompat ciptakan harmoni pada papan tuts
Semua demi
menuangkan pikiran memenuhi kertas
Belum tentu akan dibaca
Tapi aku pulang dengan perasaan puas
Semoga perasaan dan harapan menyebar
luas
Menonjok keras para penguasa yang
hilang waras
Bukan hanya
untuk ikut arus zaman
Bukan hanya
menunjukkan kita tidak gaptek
Namun
menciptakan budaya Indonesia baru
Masyarakat
yang gemar bergaul dengan buku
Walau hanya bermodal sedikit rupiah
Ingin ku jangkau seluruh dunia
Dunia maya menjadi semakin nyata
Membuktikan teori “aku berpikir, aku
ada”
Berkaryalah
, tabrak rintangan
Jangan pikir
tentang apatah kelak dilirik terbitan
Kita
berkarya untuk penyadaran
Kita
berupaya untuk perubahan
Tataaran, 13
Maret 2012
Datanglah
kiamat
Tak maukah
kita menyandang
Kedudukan
terhormat
Sementara
laku kita
Jauh
daripada cahaya
Bagaimana bias membangun negeri
Bila kita tak jinakkan diri sendiri
Tak malukah
kita
Berkedudukan
tinggi
Sementara
mampu kita
Tak lebih
baik dari budak
Bagaimana kita berbangga diri
Bila tak punya harga diri
Dunia ini
penuh kemunafikan
Dunia ini di
jelang jurang
Kiamat,
cepatlah dating
Biarlah yang
telah using
Tertelan,
hilang tak lagi terlahirkan
Untuk apa mengada di dunia
Bila harus berebut-saling makan
Hidup begitu tak ubahnya binatang
Kini kita
hanyalah binatang
Andalkan
naluri tak rela berbagi kandang
Kini, kita
persis hewan
Maunya
sendiri tak junjung aturan
Hantu
Penasaran
Burung kerok
menohok-nohok langit
Dengan suara
serak hingga berak
Kami tahu,
kami sudah tahu
Itu pertanda
serorang warga telah dibawa jauh
Burung berbunyi tak henti
Memekak telinga berhari-hari
Ada apa ini? Secepat itukah kita
mengantri?
Suami hilang istri, istri hilang suami
Atau, tak
perlu bertanya pada ilahi
Baiknya pada
diri sendiri
Kita selalu
mencari kambing hitam
Dalam kita
ada borok, bau busuknya tak tertahankan
Barangkali, hidup kita banyak meniru
orang kota
Sehingga terserang wabah kota
Penyakit menghisap badan
Gara-gara banyak orang makin daging
haram
Kata dokter
ada yang salah
Dengan pola
makan
Kita mampus
oleh kerakusan
Kita mampus
oleh ketamakan
Kita mati dalam lumbung
Karena kedunguan
Kita mati tanpa ampun
Karena ketololan
Lanjutlah
dengan ketololan
Lanjutlah
dengan kedunguan
Kalau mau
berakhir mengenaskan
Kalau mau
berakhir dan jadi hantu penasaran
Sajak
untuk kita
Mungkin
semua ini tak bias lagi membaik
Kendati
orang baik berjuang setengah mati
Perjuangan
mereka tak berarti
Perjuangan
hanya setitik
Hanyalah Yang Maha Kuasa yang bias
Kita bukanlah apa-apa
Dunia ini sedang hancur oleh ulahnya
Punah oleh ketidaksadarannya
Kita bukan
membangun rumah
Tapi kuburan
Untuk kita
Untuk semua
Kian berkembang semakin binatang
Mungkin di dunia lebih banyak setan
Kita tak kuat, kita tersesat
Masuk dalam jerat oleh para sahabat
Ingin ku
gugat Tuhan
Harusnya dia
membunuh para setan
Tapi dibiarNya
berkeliaran
Manusialah
yang jadi korgan
Tapi, apatah aku?
Terbuat dari debu
Pula kembali mendebu
Hanya sanggup mengeluh
Kalau
mengubah dunia adalah cita-cita
Itu tak
lebih dari sebuah euforia
Mengubah
diri sendiri sudah susah
Namun, bukan
berarti tak bias
Kita telah tersesat
Karna selalu abaikan petunjuk
Cerita hidup kita menjelang tamat
Sbab tak mau rujuk
Ini salah
siapa?
Orang tua,
yang wariskan kebiasaan?
Atau, salah
sendiri tak mau percaya kebijaksanaan?
Barangkali,
mestinya sekarang pikirkan masa depan
Kembalilah
Kita mulai dari awal
Kejarlah hikmat
Lakukan moral
Belajarlah
mendengar
Pahamilah
suara-suara
Menarilah
mengikuti irama
Tembangkan
lagu-lagu indah
Bangunlah rumah nan bersahaja
Buanglah niat membangun Istana dan menara
Rumah sahaja ditinggali keluarga
Istana dan menara untuk seorang raja
Tanpa
kemenangan adalah kesederhanaan
Bila masih
berlomba kita sudah kalah
Karena
menang adalah kesendirian
Jangan
bertanding, baiklah bersanding
Lupa diri
Panas pagi menyengat
kulit
Keringat
masih enggan menembus pori-pori
Dari tadi
aku sudah sampai di sini
Sendiri
bertemankan sepi
Aku melihat gedung-gedung bercat putih
Bertolak dengan langit, biru berganti
abu-abu
Persis suasana di Gaza saat ini
Dengar-dengar, Israel kirimkan terus
banyak pembunuh
Gedung-gedung
bercat putih
Diatasnya
terdapat kubah
Dimana ciri
Minahasanya?
Bupati
disini senang meniru timur tengah barangkali
Manguni dipaksa lengser oleh merpati
Tapi selalu mengaku Tou Minahasa
sejati
Kalau pemimpin sudah krisis identitas
Pantaskah dia digelari Tonaas?
Rupanya
banyak yang bersyukur
Bilai
nilai-nilai leluhur lebur
Nampaknya
kita lebih suka mengekor
Tak punya
jiwa pelopor
Bukan berarti aku benci dunia luar
Namun, aku ingin orang tahu darimana
kita berasal
Kita dilahirkan dengan bekal
masing-masing
Jadi, haram menyembah yang asing
Terbang jauh
burung-burung
Tak lupa
mereka dimana sarang
Ingin
dipandang?
Berikan
barang dari hasil keringat kita yang bercucuran
Alam
Ingin Diperhatikan
Di gereja
berhamburan pembungkus permen
Banyak juga
kantong makanan ringan
Jemaat
sampai pendeta suka lempar sampah sembaran
Bagaimana
bisa mereka terus gembar-gemborkan perihal iman?
Di gedung sekolah lebih banyak guru
tak juga pentingkan kebersihan
Bertolak belakang dengan slogan-slogan
“Sekolah sebagai pusat kebudayaan”
Lembaga ini mengusir murid jauh dari
pendidikan
Kantor-kantor
pemerintah tak ketinggalan
Mereka
pandai menyimpan kebohongan
Selalu
berteriak-teriak “Penting menjaga lingkungan”
Dalam badan
mereka penuh kekotoran
Bersih harus bermula dari dalam
Harus berawal dari kita
Orang meniru perbuatan
Mereka tak paham kata-kata hampa
Tanpa sadar
kita meracuni air
Air yang
kita minum
Tanpa sadar
kita mencemari tanah
Tanah dari
mana makanan kita meruah
Barangkali tidak sadar, kita kotori
udara
Udara yang kita hirup tiap saat
Mungkin juga kita lupa
Menggunduli hutan mengundang malapeta
Berterimakasihlah
pada alam
Bukan
sebaliknya, mencipta ketidakseimbangan
Bersyukurlah
pada Tuhan
Jagalah apa
yang Dia percayakan
Baiklah kita kembali berteman dengan
alam
Keakraban dengannya adalah kenyamanan
Baiklah kita bersahabat dengan
lingkungan
Kedekatan dengannya adalah kebahagiaan
Hiduplah
dari kecukupan alam
Usah
teknologi berlebihan
Alam menawarkan
kesembuhan dan pemulihan
Kecanggihan
tanpa batas hentar kita
Pada jurang
penderitaan
Gara-gara alam tak dapat penghormatan
Ia pun berhenti berikan kesejukan
Gara-gara lingkungan tak terima
perhatian
Ia pun tampil dengan wajah muram
Umur bumi
bergantung pada penghuni
Umur tubuh
bertopang pada jiwa
Rawatlah
rumah, sebab disitulah istana
Peliharalah
tubuh, karena disitu berdiam Alla
Privaitasasi air menyumbang sampah
plastik dimana-mana
Kita mengonsumsi air bercampir bahan kimia
Kenapa air kini mesti pula dibeli?
Padahal seharusnya gratis
Tanya itu
pada bapak dan ibu terhormat
Tanya kenapa
semua yang menguasai hajat hidup orang banyak
Telah dibiar
mereka dijarah para penghisap darah
Tanya kenapa
tak ada sisa untuk rakyat
Dicari
Guru yang Tahu Mendidik
Dengan
langkah tergesa
Siswa siswa
menuju sekolah
Mereka asyik
bercanda tawa
Berbagi
peristiwa tadi malam
Yang lainnya datang dengan sepeda
motor
Terlambat kerna tadi malam telat molor
Berpacu dengan guru
Yang juga tak bisa datang tepat waktu
Para siswa
berbaris bak prajurit
Setiap pagi
berebut tempat bebas cubitan matahari
Keringat
menyembur keluar
Menguak bau
badan tak sedap
Maka setiap pagi mereka berontak
“Sudah waktunya bertanya”
Sebagai tanda pubertas
Mencari-menunjuk identitas
“Anak-anak
kini makin liar tak terkendali”
Begitulah
keluh guru yang hilang nyali
Kenyataan
mereka hindari
Tak mau
susah payah cari solusi
Yang paling mudah, melecut mereka
Membentak mereka
Mengancam tidak dinaikan kelas
Atau membiarkan saja
Kalau begini
caranya
Berarti kita
sedang meraksasakan ular
Untuk
melahap kita
Hadapilah
Ulah Kita
-Kapan kiamat?
Kita sedang
kiamat, kataku
Sedang
kiamat oleh ulahmu
Sedang
kiamat oleh ulahku
Masihkah
kita hendak mengelak?
-Seperti apakah kiamat?
Bila nurani tak ada tempat, kataku
Tak ada tempat di hatimu
Tak ada di hatiku
Masikah kita mau mendebat?
Bukankah kiamat berarti tamat?
Kita
sementara menuju kesana, kataku
Kita berarak
menjemputnya, bukan begitu?
Kita berarak
menyongsongnya, kataku
Masih tidak
sadarkah kita?
Bagaimana bisa?
Kitalah penyebab kiamat, kataku
Kitalah biang keladinya, kataku
Kitalah bangsatnya, kataku
Masihkah kita menolak?
Apakah sudah terlambat?
Proses wafat
tak bisa berhenti, kataku
Arakan sudah
lepas di jalan, kataku
Bahkan
mereka anggap sedang menuju surga
Tinggal,
maukah kita memperlambatnya?
Hikayat
Guru Murid
Para murid
mencontoh
Pada sosok
yang bodoh
Sosok yang
banyak melongoh
Daripada
menjadi tokoh
Para guru hanya berlalu
Seakan tak tahu
Apa yang berlaku
Padahal keadaan kita kian memburuk
Lolombulan
malu melihat ke bawah
Tingkah kita
sudah sangat kelewat batas
Makin egois
dan saling memangsa
Yang berduit
menghimpun tanah
Berlapang-lapang demi anak mereka yang manja
Terpaksa
banyak yang kehilangan tanah
Nanti mereka didesak pula ke kota
Dan menjadi tukang minta-minta
Anak-anak gadis jadi kupu malam
Ayah menjadi pencuri anjing dan ayam
Dijual ke restoran-restoran
Semua hanya karena harus bertahan
Para murid
hilang harapan
Orangtua pun
banyak yang tak bisa diandalkan
Mereka
berusaha mencari hiburan
Menghapus
lara di kala mereka masih rentan
Para guru yang tak punya hati
Membuang jauh rasa peduli
“Biarkan mereka merintih”
Teriak guru yang telah kuburkan nurani
Para ibu
yang miskin
Berseru-seru
kepada ilahi
“Biar rahim
kami kering.
Agar
penderitaan ini tak terwariskan.
Cukuplah
hanya kami.
Mereka telah
berpindah ke bumi
Yang kaya dengan enteng
Mereka berkilah
“Kalian malas. Orangtua kalian malas.
Tak sudi kai berbagi hasil kerja keras!”
Bagaimana
bisa?
Kami
dimiskinkan!
Kami
diasingkan!
Alat
produksi dimonopoli
Lapangan
kerja dibatasi
Pendidikan
sarat diskriminasi
Ada jurang
lebar dalam kualitas
Kerja bagus
harus ijasah universitas
Di Indonesia kita dibayar
Berdasar ijasah. Bukan kerja
Para murid
mencontoh
Pada sosok
yang bobrok
Sosok yang
senang membelot
Lainnya
berpeluh, sedangkan dia sibuk ngorok.
Mengajar
Mengajar
laksana berkebun
Dimulai dari
pembersihan
Mencabut
habis segala rerumputan
Agar besar
beni ditebarkan
Mengajar itu adalah menanam
Membantu menyiram di kala kekeringan
Mencabuti alang-alang
Yang bisa merintang pertumbuhan
Mengajar
adalah kerja pendidik
Menanam
adalah kerja petani
Dua-dua
punya falsafa yang sama
Dua-dua
mengharap hasil yang serupa
Kalu buruk petaninya
Tak baik hasil panennya
Kalu tak becus pendidiknya
Tak baik sumber daya muridnya
Petani harus
rajin melihat tabiat alam
Pelajari
bulan dan letak benda-benda langit
Pendidik
mesti tekun merenung
Perhatikan
lingkungan dan pahami yang pelik
Mengajar adalah panggilan
Untuk dan demi masa depan
Mengajar adalah pengabdian
Agar ada perubahan
Wahai
pendidik, resapilah dan tunaikanlah!
Pencerahan
di Sore Hari
Sinar
matahari sore menembusi jendela
Hangatnya
tak seperti beberapa jam lewat
Lama sudah
ternyata aku mengurung diri di kamar
Beberapa
buku kecil dan besar kupindah
Menata buku-buku yang berjejer itu
Merupakan kerja yang aku suka
Tambah lagi banyak rayap-rayap nakal
Melubangi kertas-kertas tebal
Mereka tak tahu semua itu dibayar
mahal
Seandainya mereka tahu!
Buku yang
jumlahnya mendekat ribuan
Setiap hari
memelas minta perhatian
Menawarkan
sejuta istilah
Sejuta
pengetahuan
Aku berharap kebiasaanku menjangkit
Biar semakin banyak yang tercerahkan
Lebih bijak melihat dari banyak sudut
Karna orang begitulah yang utamakan
kebenaran
Tak terjebak seperti katak dalam
tempurung
Sebab pecinta kebenaran dekat dengan
Tuhan
Matahari
nyaris tertutu semua oleh Sinonsayang
Aku pun
nyalahkan komputer menyetel lagu-lagu
Kubuka beberapa
folder
Foto pacarku
menyebar pada layar datar
Semuanya
melihatku merayu
Aku
tersenyum dan mulai merindu
Dalam diam
terucap “selamat sore sayang”.
Cinta
Sejati Kekasih
Seperempat
abad lebih aku kini
Sedang dikau
masih di ujung belasan
Kepalaku tak
lagi lebat
Kejelekkan
pelan-pelan mulai merapat
Kau bilang,
“Aku malah makin sayang.
Aku malah
kian terpana.”
Ketulusanmu memelukku
Kuhargai sepenuh hati
Memang,
kadang aku terheran-heran
Kepadaku
engkau menjatuhkan pilihan
Keremajaan
t’lah engkau korbankan
Masa
senang-senang engkau tinggalkan
Demi aku
yang sama sekali tak romantis
Buat aku
yang taklah sepadan
Kemesraan yang penuh
Kusuka sampai mati
Kau taburi
hidup ini dengan bunga warna-warni
Meruah
hari-hari dengan pengorbanan diri
Kau bilang,
“Ku ingin kau selalu di sini.
Hanya kau
yang mengajari bagaimana mestinya hidup dijalani.”
Tak
kusangkah sepenggal pesan singkat
Yang kukirim
saat kebetulan kau penat
Ciptakan
selamat, sesak terlewat
Perhatianmu
Kurindui setiap detik
Terima kasih
kerna kau baik
Memberi
warna pada kertas putih
Mengirim
harapan untuk hari-hari yang belum pasti
Sajak
untuk Della (Sebuah keluhan)
Della,
kuharap kau baik-baik di sana
Janji yang
tak pernah kita buat
Semoga tetap
kau ingat
Hingga kau
selalu yakin di sana aku pun ada
Kita sama-sama berjalan
Saksikan banyak kegagalan
Ada tahun kita berkelimpahan
Ada tahun terpaksa kita menerima
keadaan
Telah lama kita berpacaran
Sudah dua tahun lima bulan
Kalau usia,
kita sudah matang
Sudah bisa
bikin anak sendiri
Sebagai
penerus keturunan
Biar dia
jadi seorang polisi
Ah jangan!
Tak sudi aku, jadi alat pemerintah
Bisa-bisa mereka mencelakai kita
Lihat saja!
Gara-gara tuntut keadilan
Polisi-polisi itu pentungi kita
Gara-gara kita mohon harga diturunkan
Pemerintah suruh tembaki kita
Della,
menikah nanti saja
Moga-moga
kelak pemerintah sadar juga
Aku tak mau
anak-anak kita ditembak semua
Kalau mereka
kini lahir
Lekas mereka
tersingkir
Sebab
pemeringah tak ingin anak pintar
Yang mereka
ingin anak-anak lapar
Agar mudah
diperintah-perintah sebagai budak
Tak Ada
Arti
Memandang
Lolombulan dan Sinonsayang
Dalam
suasana sanubari tak berujung
Aku tersesat
pada dunia nyata
Gantungkan
harap di cabang yang hampir patah
Ladang bersama kami garap
Pada mata bajak bertetesan keringat
Namun kami taklah bijak
Masing-masing arahkan bajak pada
sasaran berbeda
Anak-anak
berlompat-lompat
Sudah keluar
dari kandang
Mereka
kehilangan gembala
Dia sibuk
dengan rupa-rupa sia-sia
Aku serupa gembala tolol
Melihat mereka yang tak punya nurani
Tak paham mereka mendidik
Yang mereka pentingkan ialah gaji
Aku hanyalah
orang tolol
Di antara
mereka yang tak memiliki
Kemampuan
untuk memahami
Keadaan kita
di hari nanti
Aku menderita
Menanggung sendiri penyakit kita
Aku ingin meronta
Tapi bagi mereka itu tak ada makna
Harapku
Ingin sekali
aku melihat generasi berikut
Saling
menopang bukan saling sikut
Bukan hanya
membeo
Atau serupa
bunglon
Sebab kita sebenarnya begitulah
Tak sadar, hanya ikut-ikutan
Kreatifitas menjadi tumpul
Banyak meniru yang tak perlu
Seiring
waktu terus beraktifitas
Kita pingsan
mimpikan yang tak pantas
Jiwa kita
mandek
Buntuh oleh
perbuatan pasar bebas
Tak ada kata “tak bisa”
Untuk mereka yang terus berusaha
Jangan menyerah pada masa
Nasib tergantung pada kita
Jauh hingga
angkasa
Orang
Amerika telah menjelajah
Semua bisa
digapai
Asal kita
berupaya
Tentu kita ingin bahagia
Menjalani hari esok tanpa ragu
Tentu kita impikan sejahtera
Menapaki detik per detik tanpa malu
Belajarlah
pada yang tahu
Meniru hanya
yang bagus
Rubahlah
sesuatu bila itu perlu
Toh,
kesanalah kita menuju
Rindu
Kepada Kekasih
Beberapa
hari ini aku tak melihatmu
Tak
mendengar suaramu
Tak
menyentuh kulitmu
Tak mencium
bau tubuhmu
Namun kau hadir dalam benak
Kau muncul dalam perasaan
Kau terukir dalam catatan
Kau tersentuh dalam percakapan
Jangan kau
salah sangka di sana
Di sini aku
tetap sama
Hanya ada
sedikit masalah
Ponselku
belum terisi pulsa
Ciumlah pakaian yang kutinggal di
kamar
Karena bau itu bagian diriku
Bacalah buku yang kusarankan
Lewat dunia ide kita bertemu
Pulanglah
kau sayang
Bila ada
libur barang seminggu
Kan kumanja
kau di atas pangkuan
Dalam
dekapku kau boleh menuntut
Pulanglah sayang
Hadirmu begitu kutunggu
Biarlah kita ukir kenangan
Janganlah kau merajuk
Lempar
Iman
Satu lagi
kejadian
Seorang
siswa kedapatan mabuk
Padahal baru
kelas dua SMP
Cari uang
belumlah tahu
Satu lagi kejadian
Beberapa siswa kedapatan berciuman
Padahal masih ingusan
Menimang bayi belumlah tahu
Satu lagi
kejadian
Seorang
mahasiswa bunting tiga bulan
Padahal baru
duduk di semester dua
Cari
pacarnya entah telah kemana
Satu lagi kejadian
Seorang bayi tewas karena kurang
perhatian
Padahal ibunya belumlah menikah
Ayahnya juga lari dari tanggungjawab
Telah banyak
kejadian
Anak gadis
hijrah ke kota-kota
Dengan kedok
mencari kerja
Tak
berijasah andalkan raga
Telah banyak kejadian
Gadis-gadis kita pulang membawa harta
Keluarga terima mobil mewah
Darimana uangnya, orangtua tak pernah
tanya
Gereja juga
seolah memberi iya
Memberi
contoh mengejar kaya
Yang penting
jemaat terus memberi uang
“Masa bodoh,
pabila tak beriman”
Terselip
dalam Semangat Sejarah
Engkau
gelisah setiap malam
Banyak cita
tak tumbuh dan berkembang
Ya, engkau
sudah pasti gelisah
Menyaksikan
generasi menuju ke arah yang salah
Para tetangga bukan mereka
Bukan mereka yang mau diajak bicara
Tentang cita
Tentang kita
Engkau
gelisah di atas ranjang
Merenung
timbunan kegagalan
Mengapa
mereka malah menghalang?
Malah
membiarkan kapal karam
Pikir mereka aku orang gila
Hanya karena ada yang beda
Hanya karena menentang realita
Hanya karena minta mereka buka mata
Engkau
terusan resah
Mereka tak
henti menghina
Memegang
teguh “yang sudah biasa”
Kepada
kesesatan mereka menyembah
Sangka mereka aku tak layak
Karena aku sendirian
Karena mereka banyak
Sangka mereka kebenaran memihak jamak
Engkau
selamanya resah
Lenyap dalam
kenangan
Pupus dari
ingatan
Namun akan
selalu bersama semangat sejarah
Pagi
Buatan Tuhan
Belumlah
lama mata tertutup
Pagi datang
menyusul
Cepat, cepat
sekali tidur berlangsung
Tak sempat
mimpi dirajut
Kami menembus tiang-tiang hujan
Rintik-rintiknya memagut wajah
Roda-roda berlari dikejar setan
Banyak kali kekasihku bilang,
“Pelan-pelan saja”
Akupun ingat
bahwa kami masih muda
Belumlah
banyak yang dikerja
Kecepatan
yang ditunggang kukekang
Demi
selamatkan dua nyawa
Memanglah indah laju dilambat
Sambil menikmati deretan rumah
Deretan sawah dan beragam tanam
Menghargai setiap karya Tuhan
Angin pagi
mendekap kami dingin
Kekasihku
tak tahan menahan ingin
Ingin
merengkuh, mengusir bersin
Oh amboi! Di
sudut bibir senyum tersungging
Dalam dada terungkap harap
Bila boleh umur jangan berhenti
Bila boleh biar ini jadi abadi
Terus muda meremaja
Namun, aku
hanya dicipta
Tentu Dialah
yang menetapkan
Kita hanya
sanggup berserah
Taat pada
sabda dan titahNya
Kupu Dan
Putri Kecil
Puteri-puteri
kecil berceloteh ria
Menangkap
kupu berwarna putih
“Hey! Ada
kupu raja.
Kupu ratu
juga ada”
Tiga anak perempuan itu
Melempar senyum pada kami yang duduk
Dua anak perempuan kembar
Senyuman elok diumbar-umbar
Puteri-puteri
tak berdosa
Menghias
indah suasana
Tidak lengah
mereka bertukar canda
Bertukar
pula cerita dunia khayal
Kini pergi mereka dibawa kakek
Bertiga mereka di punggung kendaraan
Kini mereka hilang tinggalkan kenangan
Bertiga berlalu sambil terkeke
Rindu aku
pada mereka
Tiga putri
kecil yang tak kukenal
Tak tahu
anak siapa
Mereka pergi
tinggalkan tawa
Kupu raja terbang
Mencari tiga putri
Kupu ratu memandang sedih
Kupu-kupu kini sendirian
Rinduku pada
putri-putri kecil
Terukir pada
sayap kupu
Kebasan
sayap kebebasan merapat
Pada putri
dan kupu aku mengingat
Tugas
Pemberian Tuhan
Bersama kita
tertawa
Menohok dan
menggelitik langit
Hembusan
angin barat merambat
Membuat
ngilu sendi-sendi
Aku senang duduk di sini
Belajar memahami dan mengerti
Melihat semua dari lain sisi
Mencegah kita dari selisih
Sungguh, aku
senang bila kita saling memandang
Membiar diri
larut dalam permenungan panjang
Ke jauh
jangkau pikir terbentang
Hati turun
dalam membenam
Aku senang duduk di sini
Agar pengalaman kita saling mengisi
Aku mau merengkuh engkau duhai kekasih
Berharap selamanya kita berbagi
Pada
matahari hampir terbenam
Benih bibit
kutitipkan
Harapan
bergantung pada masa depan
Masa depan
dua insan
Matari bawalah pesan-pesan
Katakan, diriku ini kerasan
Terkandung rindu dendam
Bilang dihalang akan kutentang
Matahari
kembalilah bersama sabda Tuhan
Datanglah
dengan iring-iringan
Jadilah
saksiku dalam juang
Juang demi
tanggungjawab yang ku emban
Galau
Sang Lelaki Itu
Hampir
seharian langit menyiram bumi
Malam basah
kuyup menahan gigil
Gigi-giginya
gemeletuk
Tubuhnya
berusaha diselimutinya
Tirai dekat jendela melambai
Kodok-kodok bersenandung
Burung-burung tidur setengah sadar
Jangkrik berderit gembira
Adalah
seorang lelaki galau
Mengembara
tak tentu arah
Berharap
beroleh keteguhan gunung
Seikhlas air
mengalir berduyun
Adalah seorang lelaki risau
Pikirkan keadaan kian kacau
Kepercayaannya tak bisa bertahan
Agama hanya alat manusia-manusia degil
Kabut
merapat berkumpul
Halangi
gemintang yang menebar pesona
Betapa si
lelaki meluntur pada agama
Kebenaran
tersingkir oleh tahayul nan betul
Si lelaki bimbang
Tak dapat dipercaya lagi sang nahkoda
Sang nahkoda mabuk oleh rayuan ombak
Sang nahkoda terbuju oleh semaraknya
rayuan ikan
Hikayat
Lelaki Cerewet
Lelaki tua
berlumur tawa
Setiap hari
mencipta canda
Rajin dia
berceloteh
Tentang hal
yang remeh
Kursi kosong ditinggal melompong
T’lah bosan rupanya mereka menyimak
Menyimak setiap kalimat
Kalimat seloroh sarat penat
Lelaki tua
kebanjiran kata
Tak
dikeluarkan sesakkan dada
Ia hanya
singkirkan beban
Bebaskan raga
dari kungkungan pikiran
Ia tak berharap lebih
Memelas dia tak ingin
Hanya siapkan saja kuping
Kata-katanya kuat melengking
Lelaki tua
serupa orang bijak
Mengumbar
kata tiada putusnya
Tak peduli
apa didengar
Terus saja
dia berkilah
Barangkali takkan berhenti
Dia seorang wicarawan sejati
Dibawa terus hingga mati
Karena sudah anugerah ilahi
Pesan
Mayat
Kalau aku
mati, kobarkan api
Biarlah raga
hangus menjadi abu
Tak mau aku
dilubangi ulat-ulat
Tak mau aku
berbau busuk
Usah sibuk mencari sebidang tanah
Sebidang tanah untuk tak bernyawa
Usah terbeban membeli kayu
Kayu untuk dia yang mati tubuh
Bila tersisa
sebuah penghormatan
Ceritakan
apa yang aku perjuangkan
Ceritakan
pula harapan
Tak perlu
tunjukkan nisan
Karena aku taklah mati
Hanya dari jauh mengamati
Dari dunia yang lain
Hanya bisa menyentuh dengan angin
Tertawalah
saat aku kaku terbaring
Hilangkan
upacara yang tak perlu itu
Cegah orang
itu memuji di atas mimbar
Kata-katanya
buruk serupa bau mulutnya
Jangan buat aku mual
Jangan buat aku muntah
Jenasah cepat membusuk
Bila biarkan mereka bodohi kita terus
Sajak
untuk Kita yang Diselamatkan
Kristus
tergantung siksa tak bisa merontah
Mereka yang
irih berdiri dengan pongah
Bersorak
gembira…
“Perebut
tahta pergilah ke neraka!” mereka berkata
Anak domba dengan berat beban di
punggungnya
Berkali-kali dilecut
Darah mengucur dari tubuhnya
Sumpah serapah pun diterimanya
Ia terhitung
sebagai pemberontak
Ia terhitung
orang yang terkutuk
Terseok-seok
dia melangkah ke Golgota
Orang-orang
memandang tanpa kata
Dalam keadaan itu mereka terus
mengolok
Tak putus-putus mereka mencambuk
Menendang, meludah sampai membuatNya
telanjang
Tapi Dia tiada mendendam
Dia
dikoyak-koyak dengan biadab
Agar kita
mendapat selamat
Dia siap
disembelih seperti domba
Karna
dosa-dosa kita
Camkan! Renungkan!
Paskah bukan selebrasi dengan rupa
pernak-pernik
Paskah adalah perenungan
Bukan perayaan gagah-gagahan
Camkan!
Renungkan!
Paskah
adalah pengorbanan
Pengorbanan seorang
kawan
Paskah
adalah penyelamatan
Camkan! Renungkan!
Paskah adalah menata
Menata jiwa
Bukan hura-hura tak bermakna
Camkan!
Renungkan!
Paskah
adalah menyadari salah
Menyadari
dosa dan kebohongan kita
Kebohongan
yang tersembunyi di balik senyum ramah
Ingat…
Dia sekarat agar kita tertawa
Dia wafat agar kita selamat
Kristus…
Engkau agung
dan mulia
Aku ingin
terus eluh-eluhkan diriMu
Dalam
tindaklakuku
Tradisi
Dunia Anjing
Dulu semeja
kita memberi
Santun kita
bergaul
Meski tradisional,
Beralaskan
daun pisang, sendok tak ada
Kini, kita berebut
Laksana kawanan anjing dilempari
tulang
Hilang malu
Seperti rusa tak berempedu
Padahal kita
bangga pada modern itu
Perkakas
serba canggih
Menu
bervariasi
Namun di
meja makan kita masih mengeluh
Dulu, kita terundang atas dasar
kerabat
Sekarang karena uang yang diharap
Dengan pongah berpesta ria
Berharap tetamu gunungkan hadiah
Aku rindu
pada dulu
Pada waktu
ada tulus
Aku rindu
pada dulu itu
Demi makanan
kita tiada beradu
Aku benci pesta kini
Sebab kupunya harga diri
Di rumah masih berlimpah nasi
Yang terutama adalah belas kasih
Lexy
Sual, Papaku
Lelaki tua,
tak pernah lelah
Hari-harimu
disarat kerja bertumpuk
Langkahmu
kian membungkuk
Tapi asamu
terlampau keras untuk patah
Kau bangun terburu-buru
Tak pulas kerna rindu pada ladang yang
sedang kau garap
Pulang rumah selalu malam
Semangatmu tak kunjung luruh
Lelaki tua,
yang kupanggil papa
Menjadi
anakmu selalu kubangga
Teladanmu
adalah warisan
Lebih berharga
dari mutiara
Beratus pohon nyiur telah kau tanam
Beratus sudah kau tanam cengkeh
Buah karyamu membuat panjang namaku
“Iswan Sual, S.S. Ohai! Ini
mahakaryamu papa”
Lelaki tua
yang mendamping mama
Laksana
langit kau setia
Indahkan
perintah ilahi
Kau buat
kami punya nyali
Dalam puisi kau terkenang abadi
Biarlah terus dilirik-lirik rawi
Kau panglimaku dalam setiap yuda
Pada kami tak kau membisik durjana
Jalan
yang Kupilih
aku bukanlah
yang kalah
hanya karena
tak bergelimang harta
tiada
populer
dan tidak
termasuk golongan orang pinter
janji pada diri t’lah terpatri
biarpun godaan dunia mengajak
takkan mampu meretas
prinsip-prinsipku aku akan tetap
begini
aku bukanlah
yang salah
Cuma karena
tak datang berdua
Tanpa
pembela
Dan tak ada
yang menopang
Tampak gila tidak berarti sinting
Dunia ini gampang dibujuk angin
Dininabobokan malam
Sampai-sampai memangsa saudara sendiri
Aku hanyalah
insan
Dengan
langkah pasti
Mencari
jalan alternatif
Terpisah
dari jalan kesesatan
Meski dihalang duri
Dengan tekad bulat akan kutelusuri
Walau tanpa seorang menemani
Aku yakin dengan jalan yang kupilih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar