Minggu, 15 April 2012

Cerpen Iswan Sual


BALAS DENDAM
Oleh Iswan Sual

Dengan keseriusan yang mendalam, ditemani secangkir teh dan kue cucur, aku membaca berita-berita dari sebuah harian lokal. Harian yang kentara dengan dua hal saja: kriminal dan seks. Gambar orang yang mengenaskan dan memanaskan mendominasi lembar demi lembarnya. Menurutku berita-berita yang disuguhkan di situ bukanlah berita. Prosentase terbesarnya adalah kejadian yang dilebih-lebihkan. Antara fiksi dan nonfiksi perbandingannya adalah 80 % dan 20%. Walaupun tahu kebohongan itu, terus saja aku membaca. Siapa tahu, tulisan-tulisan itu dapat dijadikan inspirasi untuk karya-karyaku nanti. 
Di petang itu, matahari seakan menunda tenggelamnya karena ikut terlena bersamaku. Tiba-tiba telepon genggamku berderit-derit. Begitu kutekan tombol tanda terimanya, terdengar suara lembut seorang gadis di ujung telepon. Tak pernah terpikirkan olehku si penelepon itu akan melakukan itu setelah apa yang pernah aku lakukakan padanya.
“Halo kak!”
“Halo, sapa ini?” kataku dengan  kernyitan pada dahi.
“Eh, pe sombong! Masa so lupa.”
Ku coba menerka-nerka dalam kepala. Memang suara itu tidak asing di pendengaranku. Hanya saja akhir-akhir ini tak lagi pernah ku dengar. Suaranya yang mendayu-dayu mengorek masa laluku, empat atau lima tahun yang lalu. “Ah pasti dia! Takkan keliru. Itu pasti Hartina,” aku memastikan.
“Eh tumben telepon. Tau dari mana kita pe nomor?”
“Memangnya so tau sapa kita?”
“Haaartina to? Dari mana ngana tau  kita pe nomor?”
“Ih kakak, kalu nda suka orang tahu tu nomor, jang taru di feisbuk dang,” katanya sinis. Aku jadi malu sendiri.
“Oh io kang. Kyapa ngana telpon pa kita?”
Kyapa ngana telpon. Kutanyakan sekali lagi pertanyaan itu. Aku heran dia mau mencari kabarku. Padahal aku sama sekali tak peduli padanya. Perasaanku campur aduk. Kami terus saja ngobrol. Tak sedikitpun disinggungnya soal masa lalu kami yang sangat menyakitkan bagi dia. Anehnya, dia malah melarangku membicarakan itu. Sebenarya aku mencoba mengingatkannya supaya aku mendapat kesempatan untuk memohon maaf. Dia malah menimpali, “Tak ada yang perlu dimaafkan, kak. Yang sudah terjadi, terjadilah. Lagipula, kita tidak dapat merubah sesuatu menjadi lebih baik dengan terusan saja menyesalinya.” Begitu menusuk kata-kata itu. Aku jengah. Malu. Malu pada seorang yang terus memanggilku kakak. Begitu hormatnya dia padaku meskipun aku telah merenggut kesucianya dan meninggalkannya.
“Kak, torang baku dapa kwa,” katanya bak sengatan kelabang yang tiba-tiba.
“For apa? Ngana mo lebe kecewa mo lia kita pe keadaan sekarang. Kita so nda gaga. Kita bukang lagi orang yang pantas ngana mo beking idola.”
“Hahaha…kakak…kakak. Masih saja seperti dulu. Walaupun kakak dulu playboy, tapi tetap saja rendah hati. Kak, kita serius. Torang baku dapa ne?”
“Ngana dimana?”
“Kita di Jakarta. Mar besok kita pulang. Plis…ada yang penting torang dua mo bacirita…hehehe. Besok…bole to? Plis…plis…”
Keramahannya tidak membuatku senang. Malah semakin membuatku merasa bersalah dan penasaran. Terbesit dalam benak akan ada pembalasan dalam pertemuan yang dia rencanakan itu.
“Nanti bacirita ulang jo. Kita nda bisa pastikan kalu torang bisa bakudapa.”
“Kak, tenang jo kwa. Kita nda mo bajahat. Tolong ne, datang.”
Telepon ditutup. Pertanyaan demi pertanyaan muncul bergantian. Kebanyakkan tak bisa kujawab. Ada apakah gerangan? Kenapa dengan tiba-tiba dia menghubungiku untuk bertemu? Aneh bin ajaib. Dulu, setelah madunya aku hisap semua, dia kutinggalkan begitu saja. Tak sedikitpun kuanggap dia berharga dalam hidupku waktu itu. Kini, dia datang dengan senyuman manis. Sungguh tak masuk di akal. Pembalasan lebih kejam daripada perbuatan. Biasanya itu yang berlaku. Tapi, kenapa ini rupanya berbeda? Tapi apa boleh buat, aku harus menemuinya. Aku harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanku. Inilah kesempatanku untuk memperbaiki semua kerusakan yang telah aku lakukan padanya. Apa yang akan terjadi, terjadilah.
***
Bayangan tentang rupa dia, ternyata tak salah sedikitpun. Dia sudah berubah. Penampilannya sangat jauh berbeda denganku. Dia terlihat sejahtera. Pakaiannya dibuatnya sederhana, namun tetap saja bergelimang mewah dari kaki hingga kepala. Sedangkan aku, apa yang terbaik dari lemari pakaian, itu yang kukenakan. Tapi, tetap saja kelihatan seperti seorang gembel. Antara aku dan dia serupa bumi dan langit perbandingannya.
“Ayo,” katanya lembut sambil menyentuh pundakku. Kami masuk semua café remang-remang. Solaria dulu tempat aku dan teman-teman mengadakan pertemuan. Disini kami banyak berdiskusi mengenai teori-teori yang tak berguna sama sekali ketika kami terjun ke dunia nyata. Di sini juga kami menyusun rencana awal untuk demonstrasi sebagai bentuk pendampingan kepada masyarakat kota Manado yang menjadi korban penggusuran brutal oleh Polisi Pamong Praja. Banyak masyarakat yang dibohongi dan bahkan dipentungi karena tetap bertahan. Mereka bertahan untuk mengais nafkah hidup. Pemerintah malah lebih mengutamakan pengusaha besar yang berduit banyak daripada pengusaha kelas ikang puti yang cari sehari makan sehari.
“Torang mo bicara apa, Hartina?” kataku mendesak.
“Pesan dulu kwa. Pesan jo apa yang kak suka. Makanan, minuman apa jo. Kita traktir hehehe,” celotehnya enteng.
Aku diam dalam kebingungan. Kupikir keramahannya hanya akan berlaku sewaktu di telepon. Sangkaanku keliru. Hingga di tempat ini pun dia terus bersikap ramah dan superbaik padaku. Aku jadi seperti orang dungu di depannya. Barangkali ini adalah kutukan dari Tuhan atasku karena aku banyak bualannya ketika masih sama-sama dengan dia dulu.
“Aku pesan ini saja,” kataku sambil mengeserkan buku menu ke arah Hartina.
“Hi, kyapa cuma capoccino? Emang, kak nda lapar. Jao-jao kamari dari kampung cuma mo minum. Kakak musti makan, kita tulis jo tre. Kakak ini bagimana,” cepat-cepat dia menulis beberapa item nama makanan dan minuman atas namaku.
“Hartina…!”
Langkah kaki Hartina tak sanggup kucegah. Dia telah pergi ke meja kasir untuk mengonfirmasi pesanannya. Dia kembali dengan wajah berseri. Seperti saat kami bertemu di lobi tadi. Dia berusaha menghiburku dengan kata-katanya. Semakin dia melakukan itu, aku kian merasa akan ada hal luar biasa mengagetkan yang akan aku dengar dan lihat sebentar lagi. Kupikir, dia sedang menunda semua sumpah serapah dan segala tetekbengek yang sesungguhya yang harus dia lakukan. “Aku siap. Lakukan saja Hartina. Aku siap menanggung semuanya. Seberat dan seburuk apapun,” gumamku.
“Kak, ayo makan. Tenang, semua ini kita yang bayar. Kakak nda usah repot. Habiskan…hahaha.”
Guyonannya kubalas dengan senyum tipis. Tapi dia kelihatan tenang-tenang saja. Dia bebas dari beban. Santai. Dia pun makan dengan lahap. Padahal, dia tidak sebegitu pelahap sewaktu kami masih sama-sama dulu. Separuh dari nasi di piringnya, selalu saja dia berikan padaku. Dia malah beberapa kali tak makan dengan alasan diet. Itu hal aneh yang pernah kutemui. Sudah ramping dan langsing tapi mengekang mulut untuk makan. Dulu, itu aku tak pedulikan. Tak menjadi persoalan penting bagiku.
Sekarang Hartina memiliki hidup yang disiplin. Badannya yang terurus dan pakaiannya yang rapih menunjukkan bukti-bukti itu. Maklumlah, dia bekerja di perusahaan penerbangan terbaik Indonesia. Sedangkan aku hanyalah seorang pemanjat kelapa yang sewaktu-waktu jatuh dari udara tanpa jaminan asuransi perusahaan. Padahal, orang-orang seperti kamilah yang menyongkong bahan pangan orang-orang kota.
Namun, aku sedikit bahagia. Dia tentu tak akan pernah mewujudkan cita-citanya menjadi pramugari bila aku serius mencintainya lalu kammi sampai ke jenjang pernikahan. Pasti dia akan turut dalam kemelaratan bersamaku.
“Kak, kita jalan yuk,” kata Hartina sambil mengambil tasnya yang berwarna pink bercampur putih susu.
Ponselnya yang berukuran besar juga punya warna serupa dengan tas. Kini dia berdiri tepat di sampingku sambil menyentuh pundak sekali lagi. Tubuhnya kian berbentuk. Lebih elok daripada tubuh yang pernah aku peluk dulu. Kusadari dia memiliki lebih banyak keunggulan fisik dari Happy Salma. Keinginan berahiku mencuat namun terlampau kuat kukekang. “Jangan pernah berharap lagi gembel!” kataku dalam diam.
“Mo kamana torang?”
“Ke tempat dimana kakak akan dijagal. Di situlah aku akan membalaskan dendamku…hahaha… Aku bercanda. Ikut saja kak. Kita akan mencari tempat yang lebih aman untuk bicara. Kakak tidak keberatan kan?”
***
Aku tak pernah menyangka kalau kini Hartina telah benar-benar berubah dalam banyak hal. Bukan hanya dalam penampilan fisik dan kelakuan. Tak pernah terpikir kalau aku baru saja naik dan turun dari mobil sedan berwarna putih miliknya. Aku juga tak pernah membayangkan kalau dia akan membawaku ke rumahnya yang mewah di perumahan Real Estate Citra Land. Tak pernah lewat dalam benakku dia akan membiarkan seorang gembel nun jahat sepertiku mencicipi kemewahan yang dia peroleh dengan keringatnya sendiri. Apakah ini adalah bentuk balas dendam yang dia maksudkan? Apakah ini semua menjelaskan padaku bahwa seorang korban seperti dia telah diangkat oleh Tuhan dan telah diberikan kehidupan yang lebih baik daripada orang yang telah merusak kehidupannya di masa silam? Kalau itu tujuannya, aku sudah menderita jauh sebelum dia menelponku kemarin. Bahkan hari itu saja, hari dimana aku mencampakkanya, siksa dari balasan itu sudah kurasakan. Tapi rupanya ini adalah puncak dari semua itu. Aku siap Tuhan. Balaskan dendamnya setimpal dengan semua kebejatanku.
“Kak, apa kakak sudah memiliki seorang istri?”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu Hartina? Terus terang, setelah apa yang pernah aku lakukan padamu, aku tak lagi punya keberanian untuk berangan memiliki seorang istri. Aku rasa, aku tak pantas dianugerahi seorang wanita. Dosaku terlalu banyak pada perempuan.”
Hartina meraih tanganku. Air mata mengalir deras dari matanya. Semakin erat dia meremas tanganku. Dia tertunduk sesenggukan. Aku tak mengerti. Sangat runyam untuk kupahami.
“Kak, kita nda perna baharap cinta lagi dari kakak. Samua yang perna kak kase so cukup mo se sadar pa kita kalu kita ini cantik. Samua yang perna kakak kase, walaupun itu stenga pura-pura, so cukup beking kita rasa apa depe arti menjadi seorang gadis yang dicintai. Kita blajar, kalu kita lei sayang pa kakak, berarti kita musti kase kebebasan pa kakak for mo dapa apa yang kakak rasa bagus. Kita memang manangis, waktu kakak kase tinggal dulu. Mar kita nda perna binci pa kak. Kita kase biar kakak pigi mo cari kakak pe cinta sejati supaya kakak bahagia. Tantu, kita senang kalu kakak bahagia. Kebahagiaan kakak adalah kita pe kebahagiaan juga.”
            Aku menunduk malu. Tak pantas aku mendongak dan menghapus air matanya yang terlalu suci untuk kujamah. Dia sempurna. Dia adalah malaikat. Bagaimana bisa aku tak mengenalnya sedari awal? Aku telah menyia-nyiakan sebuah cinta sejati.
***
Setahun kemudian aku menikah dengan seorang gadis di kampungku. Dia tidak memiliki pendidikan tinggi namun ada padanya kepribadian yang serupa dengan Hartina. Namanya Hermita. Gadis yang berkulit agak gelap. Tubuhnya semampai. Cantiknya tiada bandingan. Kusuma desa. Ya, bunga desa.
Pertemuan aku dan Hermita pun mirip pertemuanku dengan Hartina. Sekarang aku dan Hermita tinggal di perumahan Citra Land. Semua harta dan kepunyaan Hartina dia wariskan padaku pada saat kami bertemu tahun lalu. Dia memberikan semua surat-surat tanah, rumah, serta kendaraan yang tertulis atas namaku. Juga dua café yang terletak di kawasan Mega Mas. Rupanya dia bekerja bertahun-tahun demi aku yang telah menyia-nyiakannya. Sulit untuk memahami pikiran dan perasaannya padaku. Namun yang pasti, dia mencintaiku dengan segenap jiwa dan raga.
Setiap minggu aku mengunjungi kuburannya. Dia meninggal dalam kecelakaan pesawat di atas wilayah Makassar sehari sesudah pertemuan kami. Dia telah tahu dengan pasti kapan malaikat maut akan menjemputnya. Air mataku tak terbendung setiap kali aku meziarahi makamnya. Pada batu nisannya tertulis:


Regular Pentagon: Pusara Dari
Hartina Mertosono binti Sukiman
Umur: 25 tahun
“Kebahagiaanku adalah ketika melihat kekasihku mendapatkan cinta sejatinya. Sekalipun, bukan aku wanita yang beruntung itu.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar